Dr Gunarto SH MHum,
Wakil Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang,
Dosen Magister Hukum
JAGAT hukum nasional digemparkan oleh ledakan kasus yang menimpa man-tan ketua Komisi Pembe-rantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar yang diduga menjadi aktor pembunuhan terhadap Nasruddin Zul-karnaen akibat perselisihan seorang perempuan bersta-tus tukang pungut bola golf (caddy). Berdasarkan pu-tusan Mahkamah Agung, Antasari dinyatakan terbukti bersalah dengan hukuman penjara selama 18 tahun. Banyak pihak menilai ke-putusan tersebut sebagai sesuatu yang janggal.
Bahkan Komisi Yudisial mengambil beberapa tin-dakan pemeriksaan ter-hadap para hakim yang menangani kasus itu dan menemukan indikasi pe-langgaran kode etik hakim, terutama dalam hal pro-fesionalitas karena hakim mengabaikan bukti-bukti kuat dalam persidangan. Komisi Yudisial kemudian merekomendasikan agar hakim yang menangani ka-sus itu tidak mendapatkan promosi kenaikan jabatan dan dicabut palu sidangnya selama 4 bulan.Saat ini, tim kuasa hu-kum mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu juga tengah mengajukan upaya hukum luar biasa, be-rupa peninjauan kembali (PK) terkait dengan dite-mukannya bukti-bukti baru (novum) bahwa ternyata ada indikasi upaya kriminalisasi terhadap Antasari. Buktinya, sebagaimana diadukan oleh yang bersangkutan, novum baru itu adalah ponsel An-tasari yang digunakan oleh orang tertentu untuk mem-buat pesan-pesan ancaman. Tujuannya untuk memberi bukti dan kesan bahwa pesan-pesan itu dikirimkan oleh Antasari, padahal bu-kan. Selain itu, bukti tem-bakan terjadi secara vertikal dari jarak dekat dan ma-nipulasi foto jasad korban.
Tampaknya, opini publik lebih berpihak kepada An-tasari. Tokoh-tokoh sekaliber Permadi, Rizal Ramli, Jusuf Kalla dan lain-lain pun turut memberikan dukungan mo-ral dan politik terhadapnya. Bahkan Jusuf Kalla, setelah menyampaikan orasi ilmiah dalam Dies Natalis Universitas Andalas di Padang, de-ngan tegas menyatakan pentingnya penegakan kea-dilan kepada Antasari. Fak-ta-fakta ini menggambarkan betapa terjadi pertentangan antara realitas hukum (pu-tusan pengadilan) dan nurani sosial yang tengah ber-kembang di masyarakat.
Secara objektif, harus diakui bahwa kasus Antasari memiliki pengaruh kuat dalam tata kelola sistem hukum dan politik di Tanah Air. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kasus ini menjadi penting. Pertama; secara tersirat mantan ketua KPK ini pernah menegaskan keinginannya membuka ka-sus sistem teknologi infor-masi (IT) yang digunakan KPU pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009, yang oleh banyak kalangan dinilai janggal dan banyak mengandung kecu-rangan. Kasus ini, kemudian mengkristal pada terse-retnya mantan anggota KPU Andi Nupati ke meja Panja Mafia Pemilu di DPR. Sa-yangnya, kasus ini tidak te-rungkap dengan baik se-hingga hanya memakan korban beberapa orang, termasuk di dalamnya Zainal Arifin dari Mahkamah Kon-stitusi.
Kedua; Antasari terma-suk aparat penegak hukum yang ketika memegang komando di KPK meng-ungkap kembali korupsi Bank Indonesia yang ke-mudian mengirimkan Aulia Pohan, besan Presiden Su-silo Bambang Yudhoyono ke penjara. Ini artinya bahwa dia tidak mengenal kompromi dengan kekuasaan sehingga menimbulkan ketidak nya-manan politik bagi kelompok penguasa.
Ketiga; juga pada za-mannya, mantan ketua KPK ini cukup getol melakukan perlawanan terhadap ko-ruptor-koruptor tanpa pan-dang bulu. Meski sebe-lumnya sempat diragukan in-tegritasnya, ternyata Anta-sari mampu membuktikan bahwa dirinya dapat bekerja dengan baik untuk membe-rantas korupsi yang ujung-ujungnya mampu menyeret Anggodo Widjojo. Jadi, eksistensi KPK di bawah Antasari benar-benar mampu membuat banyak koruptor merasa terancam sehingga melakukan perlawanan de-ngan mencoba melakukan kriminalisasi terhadap KPK yang waktu itu dikenal dengan kasus cicak (KPK) versus buaya (kepolisian).
Fakta-fakta ini tidak bisa dinafikan untuk memahami jagat semantika dan semi-otika penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait bagaimana pertarungan berbagai kekuatan untuk mendelegitimasi keberadaan KPK di bawah Antasari.
Jadi, panggung hukum memang merupakan medan pertarungan banyak keku-atan dan kepentingan untuk saling memengaruhi atau memenangkan/menga-lahkan di antara berbagai kekuatan dan kelompok.
Menurut seorang futu-rolog Alvin Toffler dalam Powershift (1990), orang biasa mengatakan bahwa begitu datang orde hukum, maka segala praktik yang meng-gunakan kekuasaan telan-jang akan terhenti atau ditabukan.
Menurut seorang futu-rolog Alvin Toffler dalam Powershift (1990), orang biasa mengatakan bahwa begitu datang orde hukum, maka segala praktik yang meng-gunakan kekuasaan telan-jang akan terhenti atau ditabukan.
Fakta sosiologis masih menunjukkan banyaknya pengguna kekuasaan ber-lindung di balik selimut-selimut penegakan hukum secara lembut dan halus.
Dengan demikian, hu-kum dan peradilan tidak lagi bisa dipandang semata-mata sebagai wahana pen-carian keadilan dan ke-benaran, tetapi juga lebih kompleks karena melibatkan kepentingan kekuasaan yang sangat dominan.
Diktator Peradilan
Di tengah kuatnya per-tarungan kepentingan itu, lembaga pengadilan tidak bisa berdiri di menara gading dengan melepaskan diri dari kenyataan sosial yang ber-kembang di masyarakat. Sebab, hukum bukan sema-ta-mata soal perundangan-undangan atau pasal demi pasal tapi juga menyangkut roh sosial yang terpancar dari aspirasi umum yang bisa dibaca dan dilihat dengan menggunakan kecerdasan batin.
Dengan demikian, hu-kum dan peradilan tidak lagi bisa dipandang semata-mata sebagai wahana pen-carian keadilan dan ke-benaran, tetapi juga lebih kompleks karena melibatkan kepentingan kekuasaan yang sangat dominan.
Diktator Peradilan
Di tengah kuatnya per-tarungan kepentingan itu, lembaga pengadilan tidak bisa berdiri di menara gading dengan melepaskan diri dari kenyataan sosial yang ber-kembang di masyarakat. Sebab, hukum bukan sema-ta-mata soal perundangan-undangan atau pasal demi pasal tapi juga menyangkut roh sosial yang terpancar dari aspirasi umum yang bisa dibaca dan dilihat dengan menggunakan kecerdasan batin.
Jika lembaga peradilan hanya terjebak pada narasi perundang-undangan, mengutip Satjipto Rahardjo, sesungguhnya lembaga peradilan telah menem-patkan dirinya ke dalam ruang ketidaktatoran (judicial dictatorship). Ruang ketidak-tatoran terjadi ketika me-ngalami proses isolasi an-tara kepentingan peradilan dan berbagai dinamika ma-syarakat, sehingga menjadi asing dan kerapkali ber-lawanan dari kepentingan autentik masyarakat umum. Karena itu, kasus Antasari ini akan benar-benar menjadi ujian yang bisa mem-buktikan apakah lembaga peradilan kita mencerminkan dinamika sosial masyara-katnya, atau hanya sekadar lembaga pemutus perkara berdasarkan pasal demi pasal, tanpa mencoba me-ngurai makna-makna di balik peristiwanya.
Untuk menghindari ke-diktatoran peradilan ini maka, pertama; lembaga peradilan harus bisa menunjukkan dirinya mampu memutus terjadinya silang kepentingan (cut cross interest) yang dapat mempe-ngaruhi, mengubah, atau mendikte proses hukum. Sebab, ancaman terbesar keadilan adalah kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan eko-nomi.
Kedua; membangun tran-sparansi penegakan hukum untuk memberikan akses informasi yang cukup di hadapan publik sehingga masyarakat dapat menilai sebuah proses hukum dapat berjalan secara objektif dan menggunakan norma-norma hukum yang benar sesuai kerangka aturan dan nilai-nilai sosial yang diterima masyarakat.
Ketiga; karena keputusan hukum juga dapat diartikan sebagai pengetahuan hukum maka sejatinya masyarakat dapat menjadikan itu semua sebagai pembelajaran sosial demi terbangunnya kesadaran hukum di tengah-tengah masyarakat. Dengan demi-kian, hukum akan menjadi nilai-nilai yang senantiasa hidup di tengah-tengah ma-syarakat.***