Oleh : Dr Rahayu SH MHum,
Dosen Hukum dan HAM
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Dosen Hukum dan HAM
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
ADA yang berbeda pada peringatan tujuh tahun me-ninggalnya aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, 7 September 2011. Tidak sekadar diwarnai de-ngan seruan untuk me-ngungkap kasus ini secara tuntas tetapi juga munculnya wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Munir yang dilontarkan oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin dan di-dukung oleh Asvi Marwan Adam, sejarawan dari LIPI. Kendati bukan merupakan usulan pertama karena pernah dilontarkan oleh Jimly Asshiddiqie beberapa waktu lalu hal itu menjadi menarik ketika gagasan tersebut dilontarkan oleh petinggi MPR.
Seberapa besarkah ur-gensi status pahlawan buat seorang Munir? Bagi ka-langan aktivis HAM, Munir adalah sosok yang menjadi ikon dalam gerakan per-juangan HAM dan de-mokrasi di Indonesia. Se-ba-gian besar hidupnya dide-dikasikan untuk men-dorong keterwujudan sebuah tata-nan yang menghormati dan melindungi kemanusiaan serta menegakkan keadilan. Dalam melakukan aktivi-tasnya tidak jarang Munir bersuara kritis terhadap berbagai kebijakan negara yang dianggap menyimpang. Ia juga melakukan advokasi terhadap masyarakat yang menjadi korban kekerasan negara, serta menyuarakan berbagai isu demokrasi dan HAM lainnya. Kontribusi Munir terha-dap kemajuan HAM dan demokrasi di Indonesia sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari jejak Munir yang terus berupaya keras membongkar berbagai ka-sus pelanggaran dan men-dorong pelaksanaan kebi-jakan yang lebih meng-hormati HAM.
Di antara banyak hal yang telah dilakukan adalah keberhasilannya membong-kar kasus penculikan aktivis pada 1998.
Di antara banyak hal yang telah dilakukan adalah keberhasilannya membong-kar kasus penculikan aktivis pada 1998.
Sikap kritis Munir juga ditunjukkan terhadap ber-bagai kebijakan Pemerintah, di antaranya terhadap bantuan International Military Education and Training (IMET) dari Amerika Serikat untuk TNI pada 2002-2003, terhadap rencana pembelian 4 korvet dari Belanda pada Februari 2003 oleh TNI AL yang ditengarai sarat ko-rupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Demikian pula terha-dap berbagai kerangka ke-bijakan pemerintah dalam penanggulangan aksi tero-risme, kebijakan penyele-saian konflik di Aceh, Papua, Ambon, dan Poso; serta terhadap beberapa konsep rancangan undang-undang yang berkaitan dengan TNI, dan sebagainya. Konsistensi sikapnya dapat dilihat dalam peran sebagai penasihat hukum dalam berbagai kasus pelanggaran HAM seperti kasus Tanjung Priok, kasus penculikan aktivis 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, serta berbagai kasus lainnya.
Kekritisan dan konsis-tensi sikapnya untuk terus menyuarakan hak rakyat kecil dan membela para korban pelanggaran HAM itulah yang dicurigai menjadi sebab terbunuhnya Munir di pesawat Garuda GA 974 dalam penerbangan menuju Belanda pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil autopsi para dokter di Belanda, Munir dinyatakan meninggal akibat racun arsenik dalam dosis me-matikan. Kendati Polly-carpus Budihari Priyanto sudah divonis 20 tahun penjara pada Januari 2008, sampai saat ini belum terungkap jelas siapa sesungguhnya dalang (aktor intelektual) di balik kematiannya tersebut.
Layak PahlawanMencermati perjalanan hidupnya yang nyaris dihabiskan untuk terus membangun kesadaran masyarakat akan hak-hak asa-si yang dimiliki, bahkan dengan risiko harus kehil-angan nyawanya, Munir memang layak disebut sebagai pahlawan HAM negeri ini, sejajar dengan Martin Luther King yang menjadi pahlawan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Namun apakah itu mungkin?
Layak PahlawanMencermati perjalanan hidupnya yang nyaris dihabiskan untuk terus membangun kesadaran masyarakat akan hak-hak asa-si yang dimiliki, bahkan dengan risiko harus kehil-angan nyawanya, Munir memang layak disebut sebagai pahlawan HAM negeri ini, sejajar dengan Martin Luther King yang menjadi pahlawan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Namun apakah itu mungkin?
Tanpa bermaksud pesi-mistis terhadap wacana yang muncul, sepertinya beberapa kendala normatif dan politis siap mengadang. Secara normatif, pengusulan status pahlawan bagi Munir tidak dapat dilakukan secara individual tetapi harus dia-jukan oleh lembaga yang kredibel.
Sederet panjang syarat dan ketentuan harus dipenuhi secara prosedural. Pada sisi lain, secara politis rasanya tidak mudah bagi pemerintah dapat meloloskan usulan ini.
Tujuan mulia bahwa pem-berian status pahlawan nasional bagi Munir dapat makin menumbuh kem-bangkan pembelajaran ter-hadap perjuangan HAM di negeri ini hanya akan menjadi isapan jempol, bila pengungkapan kasus Munir tidak pernah tuntas.
Bagaimana mungkin sejarah seorang tokoh HAM Indonesia diajarkan kepada generasi muda negeri ini bila ceritera sejarah itu sendiri tidak pernah jujur meng-ungkap apa yang sebe-narnya terjadi terhadap sang pahlawan?
Artinya, jauh lebih penting dari sekadar status sebagai pahlawan nasional bagi Munir adalah pengungkapan kasusnya secara tuntas dan transparan.
Sebagaimana ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pe-nuntasan kasus ini merupakan ujian sejarah bagi bangsa Indonesia (test of our history) maka sepanjang kasus ini belum terungkap tuntas berarti ujian terhadap sejarah bangsa ini juga belum selesai.
Tidak ada pilihan lain bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan untuk menin-daklanjuti hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir 2005 atau kembali melakukan penyelidikan independen terhadap kasus ini. Keberanian pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengungkapnya akan men-jadi poin penting bagi pe-ningkatan kredibilitasnya di dunia internasional dan di mata rakyatnya, sekaligus menjadi bukti keberpihakan pemerintah terhadap HAM.
Penuntasan kasus Munir dengan membawa para pelaku di semua tingkatan ke hadapan hukum tetap menjadi impian dan harapan terbesar bagi para pegiat HAM negeri ini.
Kuncinya, tentu pada kemauan politik (political will) pemerintah: mau atau tidak.
Justru yang seharusnya konsisten mendorong ke-mauan pemerintah adalah lembaga-lembaga tinggi, seperti MPR.
Kuncinya, tentu pada kemauan politik (political will) pemerintah: mau atau tidak.
Justru yang seharusnya konsisten mendorong ke-mauan pemerintah adalah lembaga-lembaga tinggi, seperti MPR.
Akhirnya, bila nanti gelar pahlawan nasional bagi Munir ternyata hanya ber-henti sebagai wacana politik sesaat maka situasi itu tidak akan pernah mengubah kenyataan bahwa selama ini Munir telah menjadi pah-lawan di setiap hati para korban pelanggaran HAM, pahlawan bagi para buruh, pahlawan bagi setiap rakyat kecil yang terpinggirkan haknya, pahlawan bagi keluarga para aktivis yang hingga saat ini tidak jelas ada di mana, serta pahlawan bagi mereka yang me-mahami bahwa hak asasi manusia memang harus diperjuangkan. Tanpa gelar itu pun, bukankah ha-kikatnya Munir sudah seorang pahlawan? ***