Refleksi Hari Adhyaksa dan Penegakan Hukum

Oleh : Abd Karim
Tanggal 22 Juli adalah hari bersejarah bagi ajaran Kejaksaan di seluruh Indonesia, yang diperingati sebagai Hari Adhyaksa atau Hari Jadi Kejaksaan. Tahun ini adalah peringatan yang ke-51 institusi tersebut. Sebagai salah satu institusi yang mendapat mandat hukum, tantangan yang dihadapi Kejaksaan tentunya semakin berat dengan terus bergulirnya asa-asa masyarakat yang menaruh pengharapan besar
bagi Korps Kejaksaan. Untuk menyikapinya, tidak cukup dengan perayaan di ulang tahun Adhyaksa. Melainkan juga harus melakukan perenungan mendalam sejauh mana Kejaksaan melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam mengawal proses penegakan hukum.
Pada dasarnya, Kejaksaan adalah institusi yang mengemban tugas-tugas publik, terutama di bidang penegakan hukum pidana yang meliputi penyidikan perkara tertentu, penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan serta mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha Negara. Di samping itu, Kejaksaan juga dapat mewakili kepentingan publik dalam perkara perdata tertentu yang tugas-tugasnya dijawantahkan sebagai pelayanan yang diberikan Kejaksaan kepada publik dalam bentuk perlindungan kepentingan publik melalui penegakan hukum. Sehingga, untuk dapat melayani publik dengan baik tentunya diperlukan sebuah pengaturan atau pengorganisasian yang baik pula.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan telah memuat berbagai ketentuan mengenai pengawasan secara tersebar dalam pasal-pasalnya, namun belum ada pedoman pelaksana yang mengatur teknis pengawasan secara spesifik mengacu pada undang-undang tersebut. Sehingga, pengawasan internal Kejaksaan saat ini masih berpedoman pada berbagai peraturan pelaksana pengawasan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.
Hakikatnya, mekanisme pengawasan dilakukan melalui pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Di mana pengawasan melekat dilaksanakan oleh pimpinan satuan kerja bawahannya dan pengawasan fungsional dilaksanakan oleh aparat pengawasan fungsional. Pada satu sisi mengakomodir pengawasan atas seluruh personel Kejaksaan, baik kalangan jaksa maupun nonjaksa. Namun, di sisi lain mengesampingkan kedudukan khusus dari seorang jaksa sebagai penegak hukum dan institusi Kejaksaan secara menyeluruh sebagai sebuah professional legal organization. Tanpa berusaha mengecilkan peranan dan kedudukan PNS pada umumnya, perlu disusun suatu sistem pengawasan yang mengacu pada karakteristik khusus dari seorang jaksa sebagai penuntut serta visi, misi, tugas dan wewenang institusi Kejaksaan.

Langkah Progresif
Beberapa langkah perlu dilakukan oleh Kejaksaan dalam hal ini oleh Jaksa Agung sebagai pemegang pucuk pimpinan di Kejaksaan Agung. Pertama, segera melakukan pemeriksaan internal secara tegas dan transparan, tanpa ada rasa ewuh-pekewuh, menutup-nutupi, terlebih melindungi, khususnya terhadap beberapa nama yang diduga terlibat dengan kasus mafia hukum. Langkah awal ini dapat menyelamatkan citra Kejaksaan atau justru sebaliknya.
Kedua, masih berkaitan dengan pemeriksaan internal. Jaksa Agung harus menjaga citra institusi Kejaksaan mulai dari petinggi-petinggi di Kejagung sampai dengan jaksa-jaksa yang ada di daerah, dengan cara memaksimalkan pengawasan internal yang kontinue di seluruh institusi-institusi kejaksaan. Serta dengan tegas memberikan sanksi apabila ada jaksa yang melanggar hukum, seperti menerima suap. Hal ini sebagai langkah preventif sekaligus represif, sehingga tidak terulang lagi kasus-kasus suap yang melibatkan jaksa sebagai aparat penegak hukum.
Ketiga, adanya laporan dalam jangka waktu tertentu tentang kinerja seorang jaksa selama ditugaskan menangani sebuah perkara. Dari hasil laporan tersebut akan terlihat bagaimana kinerjanya, apakah dia bertindak sesuai jalur hukum atau tidak. Apabila tidak, maka pengawas jaksa harus segera bertindak dan memberikan sanksi yang tegas. Hasil laporan tersebut dapat juga dijadikan sebagai instrumen penilaian terhadap jaksa. Tentunya laporan tersebut tentunya harus dibuat oleh internal kejaksaan dengan melibatkan pihak luar yang independen, sehingga sistem kontrol yang dilakukan akan lebih maksimal.
Keempat, lebih memaksimalkan peran masyarakat sebagai sosial kontrol dalam upaya penegakan hukum, di mana laporan-laporan tentang adanya oknum jaksa yang menerima suap harus lebih direspons oleh pihak Kejaksaan, dalam hal ini pengawas Kejaksaan. Laporan-laporan masyarakat tersebut harus segera direspons positif, baik oleh Kepolisian maupun Kejaksaan itu sendiri. Harus disadari, selama ini peran masyarakat belum secara maksimal direspons atau mungkin masyarakat justru merasa takut apabila melaporkan kasus yang melibatkan oknum jaksa atau oknum aparat penegak hukum lainnya.
Dalam rangka melakukan pengawasan internal institusi Kejaksaan, sudah saatnya sekarang bagi Kejaksaan membangun diri menjadi institusi yang progresif melalui keempat langkah tersebut dalam rangka mereformasi institusi Kejaksaan. Tentunya masih banyak langkah-langkah strategis lain yang dapat dilakukan, sehingga citra Kejaksaan dapat kembali dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat untuk mencari, menuntut dan menemukan keadilan. (***)

INDEKS BERITA