Oleh : Eko Prasetyo K
Perbincangan tentang akuntabilitas LSM kurang mengemuka di Indonesia. Tema ini tampaknya kurang menarik perhatian kalangan LSM sehingga jarang terdengar diangkat dan diperdebatkan dalam forum-forum diskusi di lingkungan LSM. Topik tentang masalah akuntabilitas LSM kalah populer dan sepertinya kurang bermakna dibanding dengan pembicaraan tentang masalah hak asasi manusia,
hak perempuan, hak anak, demokrasi, lingkungan, korupsi dan advokasi kebijakan publik lainnya. Diasumsikan ada sejumlah faktor yang mendasariya, antara lain: a) LSM belum melihat urgensi tuntutan terhadap akuntabilitas keberadaan mereka, b) keyakinan bahwa issu akuntabilitas adalah kepentingan pihak luar yang merasa terancam oleh gerakan LSM (pemerintah atau kekuatan politik lainnya), c) pandangan bahwa akuntabilitas merupakan pesanan lembaga donor atau kepentingan institusi global lainnya yang patut dicurigai, d) penolakan terhadap segala upaya regulasi dan kooptasi dari pihak luar terhadap LSM, e) kekhawatiran akan mengganggu independensi/kebebasan dan kemandirian LSM sehingga berdampak terhadap gerakan sosial yang diperjuangkan dan f) kemungkinan hanya semata ketidakpedulian atau tidak mau terganggu kenyamanan perilaku atau budaya organisasi yang telah institusionalized. Pembicaraan tentang akuntabilitas selama ini kurang bergema dikalangan LSM, mungkin karena adanya sikap defensif terhadap ancaman politis langsung atau sedang memenuhi kebutuhan yang mendesak.
Perhatian terhadap akuntabilitas LSM di beberapa negara telah mengembangkan beragam perspektif. Secara umum akuntabilitas dipahami sebagai status bertanggungjawab terhadap tindakan dan keputusan seseorang/lembaga.
Ada juga berkembang distorsi pemahaman bahwa seakan-akan masalah akuntabilitas sekedar aspek tehnis mengenai sertifikasi, instrument akuntablitas, dan mekanisme opersional lainnya. Sedangkan akuntabilitas LSM terkait dengan tindakan/prilaku yang didasarkan pada standar etik, kinerja yang optimal, mekanisme control (governance), konsistensi terhadap visi dan mandat organisasi, dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan Hak asasi manusia.
Pasca reformasi 1998 sejumlah organisasi didirikan di Indonesia oleh berbagai kalangan-yang kemudian menyebut dirinya sebagai LSM. Era ”extraordinary growth” LSM ini ternyata tidak sepenuhnya berkontribusi positif terhadap keberadaan masyarakat sipil di Indonesia. Sisi terangnya, semakin banyak organisasi masyarakat sipil akan berpengaruh positif terhadap penguatan posisi masyarakat sipil dan demokratisasi di Indonesia. Sedangkan sisi gelapnya, pertumbuhan ini ternyata dipicu oleh berbagai ”kepentingan” yang bertolak belakang secara fundamental dengan karakteristik dan misi dari sebuah LSM. Paling tidak ada beberapa tipe LSM yang berkembang, antara lain, LSM yang didirikan hanya sekadar untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah (biasanya juga didirikan oleh aparat pemerintah atau keluarga/kerabatnya), ada juga LSM yang seolah-olah bersuara lantang terhadap kasus-kasus korupsi tapi kemudian diam-diam melakukan pemerasan, banyak juga LSM didirikan atas dasar motif-motif kekuasaan/ politis atau memperkaya diri para pendiri, pengurus atau stafnya dll.
Fenomena tersebut telah mendorong publik membuat ”generalisasi yang keliru” terhadap keberadaan LSM. Dalam waktu singkat, opini negatif terhadap LSM tak terbendung dan berkembang semakin luas. Situasi ini diperburuk oleh minimnya akses publik terhadap informasi yang menyangkut siapa sebenarnya LSM? Apa yang dilakukan? untuk tujuan apa dan untuk siapa? Apakah kerja-kerja LSM berdampak bagi konstituennya? Bagaimana governance internalnya? bagaimana perilaku organisasinya (kode etik) dan LSM bertanggungjawab kepada siapa? Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan langsung dengan akuntabilitas LSM.
Persepsi publik terhadap LSM perlahan menuju anti klimaks akibat perilaku segelintir kalangan yang jauh dari nilai-nilai dan integritas layaknya LSM. Meski hanya sejumlah kecil LSM berperilaku seperti itu, namun sudah cukup membuat semua LSM menerima getahnya sehingga mengancam eksistensi LSM secara keseluruhan. Stigma negatif terhadap LSM dengan cepat menyebar karena publik menginginkan para aktivis dan pemimpin LSM berpegang pada standar etika yang lebih tinggi dari pemimpin bisnis dan pemerintah.
Menyikapi situasi ini, perlu dilakukan langkah untuk memperbaiki dan mengatur diri sendiri (self regulation) guna mencegah kerusakan yang lebih besar terhadap eksistensi LSM. Refleksi terhadap nilai-nilai etik yang seharusnya dimiliki oleh LSM mendapat perhatian serius. Di Indonesia, pada tahun 2003 LP3ES juga mencoba menginisiasi terbentuknya beberapa Jaringan LSM untuk Kode Etik seperti: Jaringan Kode Etik LSM Jakarta, Jaringan Kode etik LSM Riau, Jaringan Kede Etik LSM NusaTenggara dll. Namun kelihatannya mengalami masalah dengan keberlanjutannya ?
Pembenahan governance dan akuntabilitas LSM yang selama ini terabaikan diyakini sebagai landasan awal yang penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan legitimasi terhadap LSM sebagai basis dukungan bagi perubahan sosial.
Bagaimana dengan Indonesia?
Harus diakui, perhatian yang kurang memadai terhadap akuntabilitas ditunjukkan oleh LSM di Indonesia. Sejak tahun 1998 ketika desakan akuntabilitas terhadap LSM bergema di Indonesia, tercatat hanya beberapa inisiatif yang muncul kepermukaan. Inisiatif yang melibatkan LSM dibeberapa propinsi, dilakukan oleh LP3ES pada tahun 2003 dengan membangun asosiasi Kode Etik LSM di beberapa propinsi. Namun setelah terbentuk, asosiasi ini tidak terdengar keberlanjutannya.
Melangkah ke Depan
Selain itu sikap kritis dan skeptis terhadap LSM juga meningkat. Sementara peran aktif LSM dalam mendorong demokratisasi, pembelaan terhadap kelompok marginal dan keterlibatannya dalam advokasi kebijakan-kebijakan publik semakin meningkatkan tuntutan terhadap akuntablitas LSM.
Disisi lain perlu disadari bahwa LSM bukan hidup dalam ”ruang hampa” sehingga tak mungkin terhindar dari dinamika politik, sosial budaya dan tuntutan-tuntutan baru yang berkembang.
Dengan demikian, ketidakpedulian LSM terhadap masalah akuntabilitasnya, bukan hanya mengancam eksistensi LSM, tetapi juga membahayakan upaya mendorong peranan masyarakat sipil dalam pengembangan demokrasi dan prilaku demokratis di semua arena politik, lokal, nasional, regional, dan global. Di Indonesia existensi LSM semakin ditantang setelah otonomi daerah – menyusul lahirnya berbagai kebijakan dan peraturan daerah yang terindikasi melanggar HAM dan bersifat diskriminatif. ***