Surabaya, MS - Wacana Surabaya menjadi ibukota baru Indonesia, karena Jakarta sudah tidak mumpuni, masih menarik diperbincangkan. Menurut para pakar kota dari Surabaya, kawasan Surabaya yang cocok untuk diplot ibukota negara hanya di Surabaya Barat. Pasalnya, kawasan tersebut masih cukup luas dan bisa mengembang ke wilayah Gresik.
Apalagi, menurut perhitungan lahan yang dibutuhkan sekitar 10.000 hektar.“Kalau wacana itu dipaksakan di Surabaya, maka Surabaya Barat bisa mewakilinya. Entah bagaimana caranya, yang jelas kawasan Surabaya Barat masih luas dan kalau lahan yang dibutuhkan masih kurang bisa dicarikan lahan di kawasan Gresik. Itu alternatifnya,” kata pengamat kota dan statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Kresnayana Yahya, dalam sebuah kesempatan, beberapa waktu silam.
Apalagi, katanya, Surabaya Barat pada saat ini sudah berkembang sangat pesat. Kawasan tersebut kini memiliki bangunan mal, perumahan mewah, apartemen dan lain sebagainya. “Ya tinggal Surabaya Barat pilihan satu-satunya, karena bisa berkembang ke Gresik. Kalau timur susah karena berbatasan dengan laut,” katanya.
Namun, sebelum semuanya menjadi kenyataan sebaiknya pemindahan ibukota ke Surabaya harus dilakukan studi dan kajian akademis. Pemikirannya jangan hanya didasarkan atas kemacetan lalu lintas. Selain itu, jangan ada kepentingan politis di balik pengungkapannya.
Menurutnya, wacana pemindahan ibukota negara berdasarkan kajian kemacetan di Jakarta menunjukkan pemerintah pusat tidak mau berpikir keras bagaimana memecahkan kemacetan di sana. Tapi pemerintah justru menghindari kemacetan di ibukota negara. “Pandangan seperti ini sangat keliru,” ujarnya.
Senada dengan Kresnayana, pakar tata kota ITS, Haryo Sulistiarso, berpendapat yang sama. Kalau ibukota negera dipindah ke Surabaya sebenarnya merupakan bencana bagi Kota Pahlawan. Surabaya tidak semakin bagus, tapi justru semakin buruk. Semua pembangunan di berbagai bidang akan tidak terarah dengan baik. Pasalnya, akan ada urbanisasi secara besar-besaran, sehingga pertambahan penduduknya semakin banyak. Di sisi lain pertambahan jumlah pengangguran semakin besar. “Ini dari segi kependudukan,” ujarnya.
Di sisi lain, kemacetan akan semakin mengembang ke mana-mana. Tidak hanya di pusat perkantoran, tapi juga ke berbagai sudut kota. “Sekarang saja Surabaya sudah sering macet, apalagi dijadikan ibukota negara, pasti akan lebih macet dari sekarang,” katanya.
Menurutnya, sekalipun pemindahan ibu kota hanya masalah administrasi negaranya saja, tapi orang-orang yang bekerja di bidang administrasi negara ini sudah tentu akan menjadi penghuni kota. Mereka ini tentunya tidak sendirian karena ada anak dan istrinya.
Pemindahan ibukota dengan mencontoh Malaysia tidak pas kalau di Surabaya. Sebab, perpindahan ibukota Malaysia dari Kuala Lumpur ke kawasan Putra Jaya hanya pusat administrasinya saja. Sedangkan kegiatan perekonomiannya tetap di Kuala Lumpur.
Di sisi lain, kawasan Putra Jaya tidak jauh dari Kuala Lumpur. Jarak antar kedua kawasan itu hanya sekitar 40km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. “Kalau pemerintah mau mencontoh Malaysia, ya, sebaiknya ibukota di pindah ke kawasan Jonggol. Kawasan ini dekat dengan Jakarta dan bisa ditempuh dalam waktu 1 jam,” ujarnya.
Kalau kemacetan yang dijadikan biang sumpeknya ibukota negara, lanjutnya, pemerintah bisa langsung memecahkan kemacetan di Jakarta itu sendiri. Di antaranya dengan membangun monorail, mengatur sistem lalu lintasnya, memperbaiki sistem transportasinya, memperbaiki insfrastruktur kota atau mengurangi jumlah kendaraan.
“Banyak sekali model sistem transportasi yang bisa dicontoh Jakarta untuk mengatasi tingkat kemacetan lalu lintasnya. Jadi bukan, malah memindahkan ibu kota negara. Itu keliru besar,” ujar.
Selain itu, penanganan kemacetan lalu lintas sebetulnya juga tidak sulit. Dalam kurun waktu 1-5 tahun kemacetan Jakarta bisa teratasi. Bahkan, penanganannya sangat sepele sekali. “Tapi kenapa dibuat ruwet, sekarang tinggal kemauan pemerintah saja, mau apa tidak membenahi kemacetan tersebut,” ungkapnya.
Opini lain muncul dari Sosiolog asal Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto yang menyatakan bahwa masyarakat Surabaya tidak akan banyak terpengaruh jika benar ibukota dipindah ke kota pahlawan. Ini karena budaya Surabaya hampir sama dengan Jakarta.
Namun secara pribadi dia kurang setuju bila pemerintah memilih Surabaya sebagai ibukota. Pasalnya, tidak akan banyak perubahan signifikan. Surabaya diprediksi akan menjadi ‘Jakarta’ selanjutnya jika benar ibukota dipindah. “Kalau boleh memilih, Surabaya bukanlah kota yang ideal untuk ibukota karena memiliki tipe yang hampir sama dengan Jakarta,” katanya.
Menurutnya, masalah justru bukan karena penduduk Surabaya, melainkan dari berbagai fasilitas pendukung yang harus dipersiapkan untuk sebuah ibukota. “Kita tahu Jakarta itu didukung oleh kota satelit, jika benar Surabaya menjadi ibukota perangkat inilah yang justru perlu mendapatkan perhatian,” katanya.
Sebuah ibukota, lanjutnya, sangat membutuhkan daerah lain untuk pendukungnya. Kota satelit sebagai pendukung sangat dibutuhkan, namun perlu ada hubungan saling menguntungkan. Bagong mencontohkan, Jakarta membutuhkan ruang untuk membuang sampahnya di kota lain. Dengan era otonomi seperti sekarang, daerah satelit yang menjadi pendukung dapat menolaknya. Terutama jika tidak memberi keuntungan. ”Apa mau Gresik kalau Surabaya nunut membuang sampah, misalnya. Ini perlu dipikirkan,” katanya. ks-er