KASUS KORLANTAS POLRI


JAKARTA, METRO SURYAMantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Amien Rais, memprediksi kasus dugaan korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri bakal segera meredup. Dia mengatakan, kasus itu bakal menghilang dalam waktu enam pekan mendatang.
 
"Saya yakin kasus simulator ini tidak akan lebih dari enam minggu boomingnya, dan ada kasus (korupsi) baru," kata Amien Rais.
 
Menurut Amien, pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung mudah menguap begitu saja hanya gara-gara ada kasus korupsi terbaru dan dianggap lebih menarik. "Karena konteks politik dan kekuasaan yang melingkupi (korupsi) itu lebih keras," terang Amien.
 
Amien mencontohkan kasus pengucuran dana talangan Bank Century yang hingga kini mandek diselidiki KPK. Padahal, kata Amien, awal-awal kasus ini mencuat telah mendapat begitu banyak perhatian. "Bank Century itu hampir sebulan digodog di DPR siang-malam, seperti kekurangan waktu. Kemudian difollow-up KPK ternyata hilang, kasus hambalang, nanti juga lama-lama hilang," kata Amien.
 
Kasus korupsi pengadaan simulator SIM itu kembali membuat tegang hubungan KPK dengan Polri. Setelah KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi Didik Purnomo, Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA), Budi Susanto, dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukoco S Bambang, sebagai tersangka, Polri belakangan menyusul dengan menetapkan status tersangka terhadap tiga tersangka versi KPK tersebut.
 
Para tersangka versi Polri adalah Brigadir Jenderal Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, Kompol Legino, dan dua pihak swasta, Sukotjo Bambang, dan Budi Santoso. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Anang Iskandar menyebut mereka telah ditetapkan sebagai tersangka, sejak 1 Agustus 2012.
 
Terkait hubungan saling sikut antara KPK dengan Kepolisian RI, Amien mengaku tidak mau tertipu. Dia meyakini kasus itu bakal menghilang seperti kasus perseturuan KPK dengan Polri yang dulu lebih dikenal Cicak versus Buaya. "Saya tidak mau tertipu karena sudah terlihat jelas. Saya sedkitpun tidak mneragukan Abraham Samad, dia pahlawan. Tapi, dia tidak bisa sendirian, bahkan lima pemimpin KPK pun juga tidak bisa," kata Amien.
 
Menurut Amien, KPK punya kelemahan dalam menghadapi kasus korupsi yang berskala besar. "Biasanya kalau ada masalah besar, KPK tidak berdaya. Sesungguhnya mengenai KPK, sudah ada regularitas yang bisa kita cermati," kata Amien.

Polri Tak Layak Tangani
Sementara itu, perkembangan penangan kasus itu di ketahui ternyata justru memicu konflik antara KPK dan Polri. Menanggapi hal itu  Pengamat Hukum, sekaligus pendiri LBH Masyarakat, Taufik Basari, menilai, Bareskrim Mabes Polri dinilai tidak memiliki wewenangan dalam penangan kasus simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri. Pasalnya, jika Polri bersikeras menangani sendiri kasus yang menyeret beberapa perwira tinggi ini, maka akan berbenturan dengan konflik kepentingan.

Berdasarkan prinsip hukum, Polri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan Simulator SIM, karena ada potensi konflik kepentingan dengan para tersangka yang merupakan bagian dari institusi Polri, sehingga tidak boleh dilakukan.

"Kasus ini sangat terbuka potensi itu, mengingat kasus ini berkaitan dengan petinggi Polri. Bukan tidak mungkin nantinya penyidik Bareskrim Polri akan bersinggungan dengan potensi ini," jelas Taufik.

Taufik menegaskan, seharusnya Polri bisa legowo untuk menyerahkan kasus ini kepada KPK, karena berdasarkan Undang-Undang KPK, lembaga antikorupsi ini memiliki kewnangan atau supervisi dan koordinasi untuk menangani kasus itu.

"Polri harus mundur, karena bersarkan UU KPK diatur perannya adalah melakukan supervisi, koordinasi, bahkan mengambil alih kasus ini sesuai yang diatur dalam pasal 50 ayat 1 sampai 4 UU KPK," paparnya.

Mantan penasehat KPK ini tidak sependapat dengan ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang mengatakan KPK harus tetap patuh aturan main dan jangan sampai menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum acara atau arogan. 

KPK itu, kata Taufik, bekerja sesuai UU dan koridor hukum, sehingga tidak benar jika KPK arogan. "KPK tidak arogan, sebab semua yang dilakukan KPK itu sesuai degan aturan hukum," simpulnya.

Indepedensi Kerjagung
Hubungan Kejagung dan Mabes Polri sebagai sebagai mitra penegak hukum tidak akan menjadi hambatan dalam penanganan kasus korupsi pengadaan alat simulator kendaraan roda dua dan roda empat di Korlantas Mabes Polri. Demikian ditegaskan Wakil Jaksa Agung Darmono di Jakarta, belum lama ini.

Darmono mengatakan Kejagung akan tetap menjaga netralitas dan independensi institusi dalam penanganan kasus simulator ini. “Ya, insya Allah bisa (bersikap netral dan independen, red.),” katanya.

Sebagaimana diketahui, Mabes Polri telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini. Tiga tersangka berasal dari unsur Kepolisian, sedangkan dua orang sisanya berasal dari swasta. Ketiga perwira polisi itu adalah Wakakorlantas Brigjen (Pol) Didik Purnomo selaku Pejabat Pembuat Komitmen, AKBP Teddy Rusmawa selaku Ketua Pengadaan Alat Simulator SIM, dan Kompol Legimo selaku Kepala Keuangan Korlantas. Dua tersangka lainnya adalah Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang.

Kadiv Humas Mabes Polri, Anang Iskandar mengatakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah diserahkan ke Kejagung dan sejak 1 Agustus 2012 penyidik Bareskrim telah menetapkan lima tersangka. Anehnya, keterangan Kadiv Humas Mabes Polri berseberangan dengan pihak Kejagung. Darmono mengaku Kejagung belum menerima SPDP.

Namun, bukan hanya Mabes Polri yang menangani kasus pengadaan alat simulator. KPK juga menangani kasus yang sama, bahkan telah menetapkan mantan Kakorlantas Mabes Polri Djoko Susilo sebagai tersangka. KPK mengklaim lebih dulu mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan.

Djoko yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Akpol, diduga menyalahgunakan kewenangan dalam pengadaan alat simulator pada tahun anggaran 2011. Perbuatan Djoko ini melibatkan anak buahnya dan dua Direktur perusahaan rekanan. Akibat perbuatan para tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga miliaran rupiah.

Oleh KPK, Djoko dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor dan anak buahnya dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 56 ayat (1) KUHP. Sementara, kedua Direktur perusahaan rekanan, Budi Susanto dan Sukotjo S Bambang dikenakan Pasal 11 UU Tipikor.

Tanpa surat tugas
Sebagai pelapor, Direktur ITI Sukotjo S Bambang juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Begitu pula di Mabes Polri. Bambang ditetapkan sebagai tersangka bersama empat tersangka lainnya. Namun, pengacara Bambang, Erick S Paat mengaku belum mengetahui mengenai penetapan kliennya sebagai tersangka di Mabes Polri.

Erick mengatakan kliennya belum pernah diperiksa sekalipun, baik sebagai saksi maupun tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri. “Belum ada pemberitahuan atau surat panggilan. Saya belum bisa menanggapi. Kalau sudah ada pemberitahuan resmi, baru kami bisa mengerti apa yang akan kami lakukan dan persiapkan”, ujarnya.

Erick mengungkapkan, ketika media memberitakan mengenai laporan kliennya ke KPK, petugas dari Mabes Polri sempat mendatangi Bambang untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan korupsi. Erick keberatan karena Bambang sudah terlebih dulu menyampaikan laporan ke KPK.

Selain itu, Erick juga keberatan karena petugas yang datang tidak memperlihatkan surat tugas. “Karena tidak ada surat, kami tidak tanggapi. Kami tidak mempertanyakan karena seharusnya petugas itu menunjukan surat tugas dengan sendirinya. Jadi, sampai saat ini tidak ada satu pun berita acara yang ditandatangani klien kami,” tuturnya.

Erick menambahkan, kliennya telah mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. Erick tidak tidak menjelaskan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau tidak oleh LPSK. Sementara, LPSK sendiri telah mengaku menetapkan Bambang dalam perlindungan LPSK.

Selain sebagai pelapor kasus korupsi, Bambang adalah terdakwa dalam kasus penipuan dan penggelapan dana pada proyek pengadaan alat simulator. Bambang melaporkan dugaan suap yang dilakukan oleh Direktur CMMA Budi Susanto kepada Djoko Susilo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Korlantas Mabes Polri sebesar Rp2 miliar.

Suap itu diberikan sebagai pelicin agar CMMA menang dalam tender simulator. Setelah diselidiki, Djoko Susilo juga diduga telah menggelembungkan dana pembelian simulator motor sebesar Rp34,99 juta per unit dan simulator mobil Rp176,142 juta per unit dari proyek senilai total Rp196,87 miliar.

Tolak SPDP
Sementara itu, ICW meminta Kejagung bersikap tegas dengan menolak SPDP dari Bareskrim Polri terkait lima tersangka dugaan korupsi pengadaan alat simulator di Korps Lalu Lintas, karena penanganannya cacat hukum.

"Kejagung harus menolak SPDP itu. Mana bisa menerima penyidikan yang bukan wewenang mereka (Bareskrim Polri)," kata Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah di Jakarta, Kamis(2/8).

Cacat hukumnya penanganan kasus itu oleh Bareskrim Polri, ia menjelaskan hal itu sudah tertuang di dalam Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (4) UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 30 ayat (3) menyebutkan jika KPK sudah melakukan penyidikan kasus terlebih dahulu maka polisi dan jaksa tidak punya kewenangan lagi menangani kasus tersebut. Kemudian Pasal 30 ayat (4) menyebutkan kalaupun penyidikan dilakukan bersamaan maka polisi dan jaksa harus menghentikannya. "Ini sudah jelas, jika polisi tidak punya kewenangan menangani kasus tersebut," katanya.

Ia juga mempertanyakan kenapa polisi tiba-tiba langsung menaikkan status penanganan kasus tersebut serta menyebutkan ada tersangka setelah KPK melakukan penggeledahan di kantor Korlantas pada 27 Juli 2012.

"Jika benar polisi tengah menyelidiki kasus itu, kenapa berkas-berkasnya masih di Korlantas bukannya disita dan disimpan di Bareskrim Polri," katanya. Karena itu, ia berharap pimpinan kepolisian berjiwa besar menyerahkan penanganan kasus itu ke pihak KPK.


Jangan adu KPK dan Polri
Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin meminta agar persoalan kasus penanganan simulator SIM di tubuh Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tak dibenturkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 
Amir melihat adanya upaya untuk mengadu domba antara Polri dan KPK. Menurutnya yang harus dilakukan saat ini bukan pada siapa yang harus menangani kasus tersebut, tetapi semangat pemberantasan korupsinya.
 
"Tujuan dari instansi ini kan jelas ingin secara maksimal mrmerangi perilaku korupsi. Jadi, kalau ada niat seperti itu seharusnya kita harapkn itu adalah bersinergi. Jangan pada posisi ada pihak-pihak yang dengan sengaja menonjolkan yang lain itu lebih berwenang dan yang lain tidak berwenang," ujar Amir saat ditemui di Kantor Pertamina di Jakarta.
 
Dengan mengatakan KPK lebih berwenang dan Polri tak berwenang menangani kasus tersebut, lanjut Amir, maka yang akan terjadi adalah akan merenggangkan hubungan antara KPK dan Polri.
 
"Jangan terlalu KPK dan Polisi itu dihadap-hadapkan. Tolong. Saya kira ini tugas daripada kita," kayanya.
 
Amir sepakat jika kasus tersebut di bawa ke Mahakamah Konstitusi (MK) untuk diajukan judicial review terkait Undang-undang yang mengaturnya.
 
"Ya boleh saja, tetapi patut juga diperhatikan rasa keadilan masyarakat itu kan harus dipertimbangkan. Boleh saja dibawa ke MK sepanjang ada argumentasi yang baik, yang bisa kemudian menghapus dugaan-dugaan awal bahwa upaya ini adalah untuk mnghalangi KPK," paparnya.
 
Namun, Amir tak sepakat jika Presiden harus turun tangan dalam mengatasi persoalan tersebut.
 
"Ini kan KPK masih membuka diri, polisi juga demikian, sehingga yang terbaik diselesaikanlah. Jangan membiasakan diri tidak menyelesaikan masalah. Masa presiden lagi? Akan sangat lebih bagus jika menyelesaikan sendiri," tutupnya.

Memalukan Bangsa
Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri dalam perebutan kewenangan penanganan kasus pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri merupakan tindakan yang tidak etis dan sangat memalukan bangsa ini. 

"Jika berlanjut akan membuat para koruptor menertawakan KPK, Polri, dan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini," ungkap Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, di Jakarta.

Oleh karenanya, IPW menyambut baik gagasan Polri untuk mengajukan masalah sengketa kewenangan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) . 

Hal itu sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, di mana MK berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganmya diberikan oleh UUD. 

"Walau pun KPK bukan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, namun berdasarkan UU no.24 tahun 2003 tentang MK dapat mengadili dan memutus sengketa KPK vs Polri tersebut," terangnya.

Neta menegaskan, langkah yang diambil Polri lebih baik, daripada meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ikut campur menengahi perseteruan keduannya. "Langkah ini lebih arif ketimbang Presiden SBY cawe-cawe dalam konflik KPK vs Polri," sambungnya.

IPW juga menilai pertemuan perwira tinggi aktif dan mantan petinggi Polri, kemarin sebagai upaya konstruktif Polri untuk melakukan konsolidasi organisasi dan konsolidasi pelaksanaan visi serta misi reformasi pimpinan Jenderal Timur Pradopo tersebut. 

Namun, Neta berharap Polri segera berubah dan jangan setengah hati dalam menangani kasus-kasus korupsi. Sebab saat ini ada 21 kasus korupsi besar yang 'menguap' di Polri. 

"Jika hal ini terus terjadi, bagaimana publik bisa percaya bahwa Polri akan menuntaskan kasus Simulator SIM tersebut," tutupnya.
Presiden Harus Diam
Neta S Pane berharap, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  tidak perlu ikut-ikutan dalam menangani kasus Simulator SIM yang sedang ditangani KPK dan Polri. Sebab dari awal penanganan kasus ini mengandung banyak keanehan, jika SBY cawe-cawe, sang presiden akan terjebak dalam keanehan-keanehan yang diciptakan KPK.

Keanehan yang diciptakan KPK antara lain, mengapa KPK memberikan konsensi join investigasi dengan Polri. Dasar hukum apa yang dipakai KPK, dalam satu kasus bisa ditangani dua institusi (KPK-Polri). Jika KPK memang punya bukti-bukti kuat, dengan 12 kewenangan yang dimilikinya KPK bisa mengusut kasus simulator SIM tersebut tanpa harus join investigasi dengan Polri. KPK harus punya keberanian dan ketegasan. KPK jangan banci. Dengan Undang-undang yang dimilikinya KPK bisa power full untuk terus mengusut kasus simulator SIM.

IPW tidak setuju jika Presiden SBY terjun lebih jauh menengahi KPK dan Polri. Keterlibatan SBY bisa dinilai intervensi dan pemihakan, yang secara jangka panjang akan membuat politik balas budi. Ujung-ujungnya, jika SBY membela KPK, SBY akan meminta konsensi pada KPK agar kasus-kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh Demokrat "dilenyapkan". Padahal saat ini cukup banyak tokoh-tokoh Demokrat yang terlibat korupsi yang sedeng ditangani KPK.

IPW juga memberi apresiasi atas langkah Polri dalam menetapkan 5 tersangka kasus simulator SIM. Langkah tesebut sebagai tamparan bagi KPK dan menunjukkan KPK lamban dan tidak profesional. Diharapkan Polri tidak hanya berhenti disini. Tapi terus melebar ke kasus-kasus korupsi lain di internal Polri agar kepercayaan publik kian terbangun.

IPW sendiri saat ini sedang melakukan investigasi terhadap dugaan korupsi di Polri yang diduga melibatkan sejumlah jenderal Polri. Dugaan korupsi itu terjadi di Lembang, di Cikeas dan di Cipinang, Jakarta Timur. 
Pakar HTN
Belum lama ini Polri meminta pendapat dua pakar hukum yakni Yusril Ihza Mahendra dan Romli Atmasasmita. Sebagaimana diketahui, Yusril dikenal sebagai pakar HTN, sedangkan Romli dikenal sebagai pakar Hukum Pidana. Keduanya mengaku terlibat dalam penyusunan UU KPK.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Boy Rafli Amar menjelaskan keputusan Polri meminta pendapat pakar hukum bertujuan untuk menjernihkan kisruh yang terjadi. “Tidak ada pemanggilan. Sharing pendapat hukum saja kalau saya lihat,” katanya.

Sesuai keahliannya, Yusril menyarankan Polri menempuh langkah hukum dengan mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN). Menurut mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan itu, SKLN adalah pilihan solusi terakhir apabila Polri dan KPK tetap tidak bisa berkompromi, dan Presiden pun tidak bisa mengatasi.

“Kalau sekiranya dispute antara polisi dan KPK tidak terselesaikan, maka apakah itu bisa dibawa ke MK untuk diputus?Saya berpendapat itu adalah alternatif terakhir apabila kedua pihak tidak dapat berkompromi dan presiden juga tidak berdaya mengatasi dispute antara dua lembaga penegak hukum,” ujarnya.

Yusril berkeyakinan MK berwenang mengadili dan memutus sengketa yang terjadi antara Polri dan KPK. “Ini akan menjadi sesuatu menarik kalau sekiranya nanti masalah ini dibawa ke MK dan akan diputus siapa yang berwenang,” ujarnya.

Soal polemiknya sendiri, Yusril berpendapat KPK tidak dapat begitu saja mengambil alih penanganan kasus korupsi. Menurut dia, UU KPK harus ditafsirkan secara utuh mulai dari Pasal 6,7,8, dan 9 dengan Pasal 50 ayat (1-4).

Pengambilalihan penyidikan oleh KPK, kata Yusril, dapat dibenarkan sepanjang ada sebab-sebab tertentu sebagaimana diatur undang-undang. Misalnya, penyidikan berlarut-larut, penyidikan mengadung unsur korupsi, atau melindungi pihak yang terlibat kasus dugaan korupsi.

“Selama ini (sebab-sebab tertentu, red.) tidak dilakukan Polri, karena itu saya melihat murni dari segi hukum tidak terdapat alasan bagi KPK untuk ambil alih penyidikan yang lebih dulu dilakukan Polri,” kata pendiri Partai Bulan Bintang itu.

Sebelumnya, di tempat terpisah, Ketua MK Mahfud MD menegaskan bahwa polemik Polri dan KPK tidak dapat dibawa ke MK. Menurut Mahfud, SKLN mensyaratkan bahwa lembaga negara yang bersengketa adalah lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945. Polri memang lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945, namun KPK tidak.  

"Ini tidak mungkin dibawa ke MK. Lembaga negara yang bersengketa yang bisa dibawa MK adalah lembaga negara yang diatur dalam UUD. Sementara KPK kan belum ada di UUD," kata Mahfud.

Merujuk ke UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah UU No. 8 Tahun 2011, SKLN diatur pada Bagian Kesembilan Pasal 61-67. Pasal 61 ayat (1) berbunyi “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketan”.

Berangkat dari rumusan Pasal 61 ayat (1), UU MK memang hanya mengatur definisi tentang pemohon SKLN, sedangkan termohon tidak diatur secara tegas. Definisi termohon baru ditegaskan dalam Pasal 2 
Peraturan MK No. 8/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.

Pasal 2
(1)   Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:
a.     Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b.    Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c.     Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d.    Presiden;
e.    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f.      Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.    Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

(2)   Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

Belum dispute
Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi SP mempersilakan apabila Polri memang mengajukan permohonan SKLN. "Kalau itu opsinya Polri, silakan saja dibawa ke MK," ujar Johan kepada wartawan di kantornya.

Johan berpendapat kondisi saat ini sebenarnya belum memunculkan pertentangan. Makanya, dia berharap banyak pada hasil pembicaraan yang akan dilakukan antara pimpinan dua lembaga. "Saya kira belum dispute, karena masih ada tahapan lagi antara pembicaraan pimpinan KPK dengan Kapolri. Bisa saja hasilnya menemukan jalan keluar yang baik," tukasnya.

Tidak ada konflik

Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha mengatakan tidak ada konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian RI dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri.

"Yang perlu diketahui tidak ada konflik di dalam perbedaan pandangan antara KPK dan Polri. Bahwa di awal penanganan Korlantas di beberapa waktu lalu memang ada perbedan persepsi antara KPK dan Polri," kata Julian.

"Namun itu telah dikomunikasikan kedua belah pihak dan sebagaimana diketahui baik Polri dan KPK menangani (kasus) Korlantas Polri," lanjut Julian, disela-sela mendampingi Presiden dalam rapat koordinasi bidang energi di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta

Ia menambahkan apa yang dilakukan oleh kedua instansi tersebut adalah menangani secara bersama-sama kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri dan ini menunjukkan keduanya mempunyai komitmen untuk menangani korupsi.

"Apa yang kita lihat saat ini adalah semangat dari institusi Polri maupun KPK untuk memberantas korupsi. Kita tahu masing lembaga memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan juga tindak lanjut dari proses dari perkara korupsi itu sendiri. Jadi mari kita tunggu bersama dari sekarang yang dilakukan tindak lanjut baik dari Polri dan KPK," ujarnya menjelaskan.

Soal tuntutan dari sejumlah pihak agar Presiden Yudhoyono turun tangan langsung menengahi perbedaan pendapat antara KPK dan Polri, Julian mengatakan sejak awal Presiden sudah memberikan perintah kepada Menko Polhukam untuk berkomunikasi dengan Kapolri dan pimpinan KPK.

"Diperintahkan oleh Presiden melalui Menko Polhukam agar segera berkomunikasi antar pimpinan KPK dan Polri untuk bersinergi. Dan mereka sudah berkomitmen untuk bersinergi menyelesaikan kasus tersebut," katanya. dari berbagai sumber

INDEKS BERITA