Mutasi Dianggap Upaya PHK Diam-diam

Jakarta-Purwanto dan Doni tak terima dimutasi oleh Agung Sedayu Group, perusahaan tempatnya bekerja. Apalagi mutasi itu lebih bernuansa demosi alias penurunan jabatan atau posisi. Mereka berdua lantas menggugat Agung Sedayu Group ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta.
 
Purwanto dan Doni awalnya bekerja di perusahaan yang berinduk pada Agung Sedayu Group. Purwanto sejak tahun 2008 telah bekerja di PT Megah Agung Lestari sebagai teknisi. Sedangkan Doni bekerja sebagai event support sejak tahun 2006 di PT Jakarta International Exhibition Centre (PT Jitec).
 
Setelah lebih dari tiga tahun bekerja mereka diperintahkan oleh pihak manajemen untuk membuat surat pengunduran diri pada Maret 2011. Purwanto dan Doni kaget mendapat perintah itu karena mereka merasa tidak pernah berbuat kesalahan. Namun pihak pekerja tidak mendapat alasan yang jelas dari pihak manajemen kenapa surat itu harus dibuat. Atas dasar itu maka keduanya menolaknya.
 
Selang beberapa hari mereka mendapat surat mutasi ke bagian HRD. Jika sebelumnya pihak pekerja melakukan kerja di luar kantor sekarang pekerjaan mereka berada di dalam kantor. Yaitu di kantor pusat Agung Sedayu Group yang terletak di bilangan Mangga Dua, Jakarta Pusat. Tapi keduanya tidak bisa menjalani pekerjaan barunya itu karena sejak 26 Mei 2011 mereka tidak diberi pekerjaan lagi dan dilarang masuk lokasi kerja oleh pihak keamanan perusahaan.
 
Walau begitu Purwanto dan Doni berusaha untuk tetap masuk kerja dan mengisi absen, tapi tetap saja pihak keamanan menghalang-halangi sehingga keduanya tidak dapat menunaikan kewajibannya. Untuk menyelesaikan persoalan ini Purwanto dan Doni sebagai anggota dari Organisasi Buruh Independen (Orbit) mengadu kepada induk organisasinya. Yaitu Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Sektoral Indonesia (Paras-Indonesia).
 
Kemudian lewat serikat pekerja itu Purwanto dan Doni melayangkan surat permohonan bipartit kepada manajemen sebanyak dua kali. Namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
 
Pada 10 Juni 2011 pihak manajemen memanggil Purwanto dan Doni serta memberitahukan secara lisan bahwa keduanya akan dimutasi ke bagian housekeeping atau kebersihan gedung. Anehnya pihak manajemen tidak memberikan surat keputusan mutasi itu kepada pekerja, begitu pula ketika pekerja meminta kopian suratnya. Oleh karenanya pihak pekerja merasa ada itikad tidak baik dari manajemen. Sehari kemudian pihak pekerja menolak mutasi itu secara tertulis lewat surat dan tetap memilih untuk berada di posisi HRD.
 
Kemudian Doni mendapat surat pemanggilan kerja pertama tertanggal 21 Juni 2011. Surat itu menyebut bahwa Doni tidak masuk kerja sejak 11 Juni 2011 tanpa alasan jelas dan memerintahkan agar Doni masuk kerja pada 22 Juni 2011. Masalahnya Doni baru menerima surat itu pada 23 Juni 2011. Kemudian Doni mengirim surat balasan kepada pihak manajemen yang menyatakan kalau dirinya baru menerima surat itu pada 23 Juni 2011.
 
Jika Doni mendapat surat pemanggilan kerja, tidak begitu dengan Purwanto karena dia tidak pernah mendapatkan surat itu. Terhitung sejak bulan Juli 2011 pihak pekerja sudah tidak lagi mendapat upah.
 
Penyelesaian perkara ini sudah dilakukan secara bipartit namun tidak berhasil. Ketika mediator Disnakertrans Jakarta menerbitkan anjuran pada 26 September 2011 pihak pekerja menerima, tapi pihak manajemen menolak anjuran itu. Perkara ini akhirnya berlabuh ke pengadilan hubungan industrial (PHI) Jakarta.
 
Menurut kuasa pihak pekerja dari Paras-Indonesia, C. Supiandi menyebutkan mutasi yang dilakukan oleh pihak manajemen bertujuan agar pekerja tidak betah dan mengundurkan diri. Pihak manajemen menurut Supiandi menghindari untuk memberi pesangon.
 
“Jadi perusahaan melakukan PHK secara diam-diam dengan tidak memberi pekerjaan dan melarang pekerja masuk kantor serta mengisi absen,” kata dia kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (7/3).
 
Menurut Supiandi, pihak manajemen tidak dapat membuktikan bahwa Purwanto dan Doni telah mangkir kerja. Karena merasa di-PHK tanpa alasan yang jelas pihak pekerja menuntut agar manajemen dihukum membayar pesangon sebesar Rp63,9 Juta.
 
Terpisah, salah seorang kuasa hukum pihak manajemen David M.M Sigalingging menganggap pihak pekerja telah mangkir karena sejak 14 Juni 2011 tidak hadir ke lokasi kerja dan tidak pula mengisi daftar hadir. “Pekerja menolak mutasi dan tidak masuk kerja. Sudah kita panggil tiga kali tapi tidak masuk, jadi dikualifikasikan mengundurkan diri,” tutur David kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (7/3).
 
Selain itu dalam berkas jawabannya, pihak manajemen menyebut gugatan pekerja error in persona. Seharusnya gugatan diajukan kepada PT Megah Agung Lestari dan PT Jitec, bukan kepada Agung Sedayu Group. Pasalnya pihak pekerja dinilai tidak memiliki hubungan hukum dengan Agung Sedayu Group. Serta Agung Sedayu Group bukan merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas sesuai UU Perseroan Terbatas.hko

INDEKS BERITA