Oleh : Arfanda S/Kontributor Metro Surya
Dari kediaman pribadinya di Puri Cikeas Indah, SBY mengakui, kasus dugaan korupsi yang menjerat sejumlah kader Demokrat sebagai penyebab menurunnya dukungan pubik terhadap Partai Demokrat. Sesuai dengan kode etik partai, beliau akan memecat seluruh kader Demokrat yang terbukti melakukan korupsi.
Sayang SBY tidak menyadari kisruh Demokrat justru berpangkal dari penghambaan seluruh kader kepada dirinya. Bukan karena persoalan korupsi yang membuat Demokrat menjadi kisruh. Justru kultus individu kader Demokrat kepadanya membuat partai itu tak memiliki kader solid dan militan. Ketika badai melanda partai pemenang pemilu itu, semua kader tiarap, saling lempar tanggung jawab, tak mau berkorban demi kejayaan partai, dan ujungnya menyerahkan penyelesaian masalah kepada presiden.
Semua Partai Korupsi
Semoga SBY tidak menutup mata, bukan hanya kader Demokrat yang pernah menjadi tersangka kasus korupsi. Di negara yang menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup hampir semua kader dari partai politik pernah menjadi pesakitan di depan KPK. Saat ini saja sederet nama kader partai, seperti Pazkah Suzeta dari Gokar, Panda Nababan dari PDIP, Wa Ode Ahmad dari PAN, Nunun Nurbaeti dari Golkar, dan sederet kader partai lain juga tersangkut perkara korupsi.
Bahkan, Partai Golkar pernah memiliki masalah yang tak kalah pedas. Buloggate II di masa Akbar Tanjung, yang saat itu, menjabat Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. Akbar diduga menyelewengkan dana non-bujeter Bulog sebanyak Rp40 milyar. Bahkan, dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan berjamaah itu, diterima oleh sejumlah petinggi partai Golkar. Kasus lainnya, Century-gate, yang mencuatkan nama Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar yang diduga terlibat pidana pajak.
Namun, kader dari partai lain tahu diri dengan tidak memerkeruh suasana partai. Tak satu pun dari mereka "bernyanyi" seperti Nazaruddin yang berprinsip tiji-tibeh. Kader partai lain mengunci mulut dan menutup telinga demi menjaga eksitensi partai ke depan. Makanya, meski nama-nama petinggi partai Golkar, PDIP, PAN,PPP, dan partai lain menjadi tawanan KPK, mereka sama sekali tidak melebarkan masalah dengan mengkaitkan petinggi partainya ke lingkar masalah.
Padahal dengan logika sederhana pun dapat ditebak bahwa salah satu motivasi memainkan anggaran adalah pembiayaan partai. Bagaimanapun, partai-partai di Indonesia belum mempunyai sumber keuangan yang jelas untuk membiayai operasional partai, terutama pada masa Pemilu dan Pilpres sehingga memanfaatkan celah anggaran negara.
Rekrutmen Kader
Sebagai pendiri Partai Demokrat, SBY seharusnya menyadari betapa rapuh kualitas kader yang direkrut tanpa melalui proses kaderisasi. Orang seperti Nazaruddin yang tidak berkeringat membangun partai sedari awal dengan mudah menduduki jabatan teras partai. Apalagi sebelum menjadi pengurus Demokrat, dia merupakan caleg dari PPP. Bagaimana mungkin kader kutu loncat seperti Nazar rela menanggung risiko ketika partai dalam prahara. Wajar, kader seperti Nazaruddin tidak mempunyai militansi: tak mau legowo menanggung sendiri "kecelakaan" yang menimpanya, cenderung "lepas kontrol", mengutamakan keselamatan pribadi, berusaha menyeret kader lain, dan tak peduli masa depan partai.
Padahal ukuran kebesaran sebuah partai adalah militansi dan loyalitas kader. Ketahanan Partai Komunis China (PKC) sehingga dapat bertahan hingga sekarang karena loyalitas kadernya. Beberapa kali kader PKC yang terlibat korupsi maju sendiri tanpa melibatkan petinggi partai lain ke ruangan hukum mati. Kader PKC terkenal militan dalam melindungi kepentingan partai.
Memang idealnya, berpolitik harus secara sehat dan berdedikasi bagi kesejahteraan rakyat. Namun jika di perjalanan terdapat peristiwa berbahaya yang mengancam eksitensi partai, maka kader partai harus lebih mengutamakan keselamatan partai ketimbang diri pribadi. Meskipun, harus berkorban dan dikorbankan, kader harus legowo menerima.
Sekarang SBY kena batunya. Bagaimana tidak, mantan Bendahara Demokrat yang menjadi tersangka korupsi Wisma Atlit tidak terima kalau hanya dia sendiri menjadi tumbal kasus tersebut. Nazaruddin menyeret-nyeret nama petinggi Partai Demokrat lain. Ia menyebut Anas sebagai bos besar, Angelina sebagai pemain utama, Edhie Baskoro alias Ibas ikut terlibat. Dia juga menyebut Choel (Zulkarnain) Mallarangeng sebagai orang yang mengatur tender proyek atas sepengetahuan kakaknya, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Bahkan, nama SBY pun juga diseret-seret juga.
Parahnya lagi di internal partai juga terjadi faksi-faksi yang memerkeruh soliditas partai. Di satu sisi ada kelompok yang mencoba menggoyang kepemimpian Anas, sementara faksi lain menjadi pembela setia kepemimpinan Demokrat. Itulah tipikal partai tanpa kaderisasi, bukannya menyelamatkan marwah partai, malah sibuk memperebutkan jabatan ketua umum yang masih resmi dipegang Anas.
Sekarang SBY baru merasakan betapa berat membangun partai yang hanya mengandalkan dirinya sebagai daya tarik (interest power) konstituen. Wajah beliau yang tegang ketika membacakan sikap atas kisruh di Demokrat menyiratkan betapa terganggunya konsentrasi beliau sebagai presiden. SBY seolah-olah melupakan bahwa statusnya sekarang adalah Presiden RI . Beliau digaji dan diberi fasilitas rakyat bukan sebagai petinggi partai, namun sebagai kepala negara.
Kasus Wisma Atlit ini seharusnya memberi pelajaran kepada SBY bahwa kebesaran Demokrat hanya semu. Dari sekian banyak kader Demokrat, ternyata tak satupun mampu menyelesaikan persoalan yang melanda partainya. Semua hanya mengambil manfaat dari popularitas sang presiden. Ketika partai dalam keadaan limbung, tak ada kader rela pasang badan demi memertahankan kejayaan partai. Dan demi kejayaan partai, lagi-lagi SBY yang harus berkorban dengan menjatuhkan diri dihadapan rakyat yang memilihnya sebagai presiden.
Dengan kondisi Demokrat seperti sekarang, SBY sesungguhnya kesepian. Dia tak punya kader yang mampu menjalankan operasional partai. SBY telah disiksa oleh wajah manis para kader Demokrat yang hanya menumpang popularitas dirinya demi keuntungan pribadi. Di tengah kebesaran Partai Demokrat sekarang, sesungguhnya SBY tak punya teman, apalagi kader yang loyal dan militan!***