Pluralitas Arif Dan Religius

Oleh : J Anto/Kontributor Metro Surya Medan

Tak perlu susah-susah untuk belajar kearifan pluralitas religius di negara ini. Orang-orang yang terkungkung dalam fanatisme keyakinan religius sempit, sebaiknya melakukan jeda sejenak,
sembari merenung dan menafsir ulang laku fanatik mereka yang menebar benih-benih intoleransi. Orang Jawa bilang, "ayo ngaso (istirahat sejenak) sambil minum kopi biar pikiran jadi anteng, jernih dan tidak grasa-grusu alias kalap!"

Begitulah, pada Sabtu malam, 28 Januari 2012, saya ngaso sembari ngopi. Namun bukan pahit biji kopi yang disedu air panas yang saya seruput, melainkan air mineral yang tersaji dalam gelas plastik. Nah sembari nyeruput "kopi putih" , saya ditemani sepiring kacang asin dan jeruk lokam yang tak henti disajikan di atas meja yang disediakan untuk para pelayat yang datang.

Ya, malam itu, saya memang menghadiri acara "Kia Le", sebuah tradisi dalam rangkaian upacara kematian orang Tionghoa. Kia Le adalah malam penghiburan yang diberikan oleh sahabat dan handai taulan terhadap keluarga yang tengah berduka karena ditinggal mati oleh anggota keluarga tercinta. Malam itu dibalai sosial Goh Sia Kong So disemayamkan jenazah Lie Giok Hua atau Hermina, ibunda dari dr. Sofyan Tan.

Walau tanpa ditemani segelas kopi, ternyata batin saya bisa ngaso, bisa istirahat tatkala melihat dari dekat ratusan manusia tumplek di Balai Sosial Yayasan Go Sia Kong So Jalan Pinang Baris Medan Sunggal. Batin saya mampu ngaso karena melihat para pelayat yang hadir begitu beragam. Banyak kaum lelaki yang hadir mengenakan baju koko putih dengan kepala tertutup sorban atau peci putih, sedang kaum perempuannya mengenakan jilbab putih dan warna-warni lain. Ada juga yang mengenakan jubah seperti yang biasa dikenakan para pendeta Buddha, namun tak sedikit yang mengenakan celana panjang dipadu dengan kemeja atau kaos baju.

Warna kulit para pelayat juga sangat beragam. Pun status sosial para pelayat mulai dari pendeta, ustadz, ustadzah, bhiku, guru, pejabat, pengusaha, wartawan, anggota dewan, anggota partai politik, ibu rumah tangga biasa, sampai tukang becak!

Sungguh, sebuah taman multikultur yang mampu membuat batin saya terasa sejuk, teduh dan damai. Apalagi tatkala para pelayat memanjatkan doa mereka sesuai keyakinan religius masing-masing untuk almarhumah Ibu Lie Giok Hua. Tentu saya tak bisa menyelami isi doa mereka. Namun saya percaya dengan ketulusan para pelayat. Doa yang dipanjatkan untuk orang yang mati tentu berisi pengharapan agar yang mati memperoleh bagian terbaik di sisi Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Adil lagi Pengasih.

Itulah yang ajaran agama yang saya peroleh waktu kecil, dan saya yakini hingga saat ini. Begitulah malam itu, batin saya bisa ngaso karena "mata batin" saya terbasuh tatkala menyaksikan ratusan orang dari beragam kepercayaan religius bisa saling bertemu, beramah-tamah, berbagi cerita tanpa terhalang oleh sekat-sekat perbedaan sosial, suku atau agama yang mereka anut. Mereka telah mempertontonkan pluralitas religius yang untuk sekian lama seolah telah menghilang dari negeri ini.

Akhh tiba-tiba saya teringat masa-masa sewaktu masih duduk di SMA pada 1980-an. Di halaman sekolah, waktu mengikuti upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI, kami disuruh pembina upacara untuk mendoakan agar arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita, dapat diterima di sisi Sang Pencipta. Kami lantas berdoa khusuk sesuai dengan keyakinan dan agama masing-masing untuk para pahlawan yang telah gugur dalam memerdekakan negara RI tercinta.

Sayang, pluralitas religius seperti ini belakangan mulai tergerus oleh arus fanatisme sempit sebagian orang yang menebar semangat dan praksis intoleransi. Maka terjadilah berbagai kasus pengrusakan simbol-simbol satu agama, pelarangan sekelompok orang terhadap suatu umat yang hendak menjalankan ibadah mereka, teror massa terhadap suatu kelompok atau etnis atas klaim sebagai "Pembela rumah Tuhan" dan praksis intoleransi lain.

Doa bersama kini juga diperlakukan bak i "penderita kusta". Perlahan mulai dijauhi dan diisolasi, sekali lagi atas nama fanatisme sempit dalam menafsirkan ayat-ayat Tuhan. Maka yang menggejala, ayat-ayat Tuhan kini banyak diklaim dan dipakai untuk memutlakkan kebenaran sepihak tanpa mau memedulikan kebenaran pihak lain. Kehadiran sang lain, seolah menjadi ancaman bagi eksistensi mereka. Tak heran jika pluralitas religius sebagai penerjemahan dari pluralitas beragama, kini kerap menghadapi ancaman.

Celakanya, media massa kita pun sebagian ikut gaduh, berisik dan tak jarang ikut "ngompori" dengan reproduksi verbalisme yang tak membuat suasana batin umat yang meranggas karena kehidupan yang makin keras, menjadi sejuk dan damai. Berita-berita media massa sebagian justru seperti memercik bensin di tengah percik api yang tengah dikobarkan "para Pembela rumah Tuhan".

Sebagian dari warga bangsa ini memang tak pernah mau berziarah dengan sejarah mereka sendiri. Pluralitas religius sebenarnya merupakan sebuah keniscayaan. Ia sudah hadir sejak para bapak pendiri bangsa membidani kelahiran negara ini. Sila pertama Pancasila secara jelas mengakui tentang pluralitas religius sesuai keyakinan agama yang dianut oleh masing-masing warganya. Bahkan Tuhan pun juga menciptakan umatnya dengan beragam jenis warna kulit, bentuk fisik sekaligus kepercayaan.

Dan saya juga haqul yakin, bahwa setiap agama mengajarkan dan mendambakan masyarakat yang religius, penuh kedamaian, saling mencintai, saling mengasihi dan saling tolong menolong. Inilah sika guyub religius yang telah menjadi modal puluhan tahun bangsa ini dalam mengarungi lautan kebhinekaan yang ada.

Pertanyaannya, apakah "sikap guyub religius" hanya baru muncul ketika ada dari kita yang tertimpa kemalangan seperti kematian? Tidakkah "sikap guyub religius" jauh lebih mulai kita praktekkan tatkala kita masih hidup?

Jadi, wahai tuan dan puan "para pembela rumah Tuhan", sudikah tuan dan puan ngaso sejenak sembari nyeruput kopi?

Penulis Bekerja di Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS)

INDEKS BERITA