Oleh : Hodlan JT Hutapea.---Pada 25 Januari 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdialog dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penggiat anti korupsi
di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan dengan puluhan aktivis dari pelbagai LSM ini merupakan lanjutan dari dialog pemerintah dengan LSM dalam peringatan Hari Anti Korupsi di Semarang, 19 Desember 2011 lalu.
Pada kesempatan itu Presiden mengungkapkan bahwa saat ini korupsi sudah tersebar hingga ke daerah-daerah sebagai dampak dari distribusi kekuasaan (otonomi daerah) pada era reformasi. Kata Presiden, biasanya kasus korupsi terjadi satu atau dua kasus di Jakarta. Sekarang sudah tersebar merata ke mana-mana.di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan dengan puluhan aktivis dari pelbagai LSM ini merupakan lanjutan dari dialog pemerintah dengan LSM dalam peringatan Hari Anti Korupsi di Semarang, 19 Desember 2011 lalu.
Dalam konteks ini Presiden mengakui telah mengeluarkan 168 izin pemeriksaan yang diajukan kejaksaan dan kepolisian. Sebanyak 78 izin di antaranya menyangkut kasus-kasus korupsi yang dilakukan pada rentang 1999-2004. Sedangkan 90 izin berkaitan dengan kasus yang terjadi dalam tujuh tahun masa kepemimpinannya sebagai presiden. Dari jumlah, tidak boleh dikatakan korupsi yang meningkat, tapi penindakannya yang (kasus) dulu tahun 1999-2004 kena pada era kita, kata SBY.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko, mengamini ucapan Presiden. Katanya, korupsi memang terjadi di pusat-pusat kekuasaan, termasuk di pemerintahan daerah di Indonesia. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah, menunjukkan pemerintah daerah menjadi pusat-pusat kekuasaan baru yang rawan korupsi.
Aktivis anti korupsi dari ICW lainnya, Tama S. Langkun, mengatakan terlalu dini bila menyebut bahwa penyebaran tindak pidana korupsi terjadi lantaran kurangnya penindakan. Pada 2011 sudah banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah ditindak oleh aparat penegak hukum, baik itu KPK, kejaksaan maupun kepolisian.
Persoalannya, pengusutan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah justru sering macet dengan dalih belum keluarnya izin pemeriksaan dari presiden. Padahal dalam pertemuan itu, Presiden mengungkapkan sebenarnya yang diperlukan bukan surat izin pemeriksaan dari presiden, tetapi cukup pemberitahuan agar kekosongan kepemimpinan di daerah bisa ditangani. Menurut aturan, jika dalam dua bulan surat izin belum diterima, pemeriksaan sudah bisa dilakukan.
Jika demikian adanya, adalah wajar bila kemudian aktivis dan pegiat anti korupsi, termasuk rakyat biasa, mengkhawatirkan kalau surat izin itu hanya dijadikan dalih untuk mengulur penuntasan kasus korupsi di daerah. Diharapkan Presiden berani menegur aparat penegak hukum di tingkat bawah yang tidak juga segera menindak perkara korupsi yang melibatkan pejabat daerah.
Korupsi di Daerah
Menurut sebuah penelitian mengenai komitmen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 200 kabupaten dan kota se-Indonesia memperlihatkan rasio yang timpang. Besaran dana pembangunan daerah ternyata hanya mencapai 17-29 persen. Artinya apa? Hampir sebagian besar uang rakyat dan kekayaan negara selama era otonomi daerah terserap untuk membiaya birokrasi dan badan legislatif di seluruh Indonesia. Semua ini bisa terjadi karena belanja demikian besar, pembiayaan tinggi terhadap aparatur pemerintahan, dan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu.
Indikator terhadap kemungkinan penyimpangan ini juga bisa terlihat dari besaran retribusi terhadap pajak. Jika pemasukan retribusi lebih besar daripada pajak maka akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Selain itu adanya kemungkinan membesarnya anggaran bagi legislatif dengan cara menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui berbagai pungutan yang mengada-ada.
Logikanya, dengan PAD yang semakin besar bisa menjadi justifikasi untuk meningkatkan anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dari sini seringkali peningkatan PAD merupakan kiat untuk mencitrakan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Padahal keberhasilan pembangunan daerah sebetulnya terlihat dari peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB), bukan PAD.
Selama ini kasus korupsi yang terjadi di beberapa daerah seperti Padang, Surabaya, Garut, Pontianak, Kutai Kartanegara, Bandar Lampung, Banda Aceh, Pematang Siantar, Medan dan beberapa daerah lain memberi cerminan betapa korupsi yang dulunya (semasa Orde Baru) dilakukan pemerintah pusat sekarang berpindah ke pemerintah daerah. Itulah ‘warisan’ Orde Baru yang sampai saat ini masih merajalela,
Lima Strategi Pemberantasan Korupsi
Bagaimana caranya menghadapi persoalan korupsi yang demikian sistemik dan merajalela di era otonomi daerah ini? Barangkali kita perlu belajar dari keberhasilan pemerintah Hongkong dalam mencegah dan memberantas korupsi. Di sana praktik korupsi tidak dilihat sekadar penyimpangan atau ulah orang-orang yang tidak berakhlak saja. Namun lebih dari itu korupsi dianggap sebagai kejahatan sistemik yang membutuhkan perubahan kebijakan dan sistem yang terpadu. Selama wewenang tidak diimbangi dengan akuntabilitas yang memadai, selama itu pula kejahatan korupsi akan terus ada.
Ada lima langkah strategi pemberantasan korupsi yang dilakuan pemerintah Hongkong.
Pertama, jika dihadapkan pada korupsi sistemik maka pendekatan-pendekatan biasa yang berkisar pada penegakan hukum tidaklah cukup. Kekuatan dan kekuasaan sebesar apa pun untuk melakukan penyidikan korupsi akan gagal bila perangkat penyidik itu sendiri terlibat melakukan tindakan korupsi. Karena itu, instrumen sistemiknya harus lebih dulu direformasi.
Kedua, bentuk lembaga baru yang independen untuk memerangi korupsi dengan anggota yang dipilih secara hati-hati, cakap dan berjiwa kepemimpinan, serta tidak gentar menghadapi apa pun dengan kontrol internal yang kuat. Selain itu bentuk lembaga pengawas yang beranggotakan warga masyarakat untuk mengarahkan dan memantau lembaga antikorupsi.
Ketiga, basmi budaya tidak percaya pada pemerintah dan segera mengadili para koruptor. Kemudian pusatkan perhatian pada pencegahan. Hapuskan monopoli, pertegas batas-batas wewenang dan tingkatkan akuntabilitas.
Keempat, kerahkan warga masyarakat untuk memerangi korupsi dengan cara menciptakan cara-cara baru sehingga dapat memperbaiki secara radikal partisipasi dan dukungan warga dalam memerangi korupsi. Dengan cara ini warga semakin sadar dan tidak apatis terhadap setiap praktik korupsi.
Kelima, hendaknya dipahami korupsi sistemik memerlukan pendekatan yang sistematis dan perubahan-perubahan yang radikal. Perubahan ini menyangkut pula kultur dari para pejabat di pemerintahan pusat maupun daerah. Dari sini diharapkan bahwa korupsi yang dilakukan di pemerintahan pusat dan daerah bisa diminimalisasi. (Robert Klitgaard, 2002)
Dari kelima strategi itu, pada poin pertama, tampaknya di negeri ini kita belum menganggap kejahatan korupsi itu sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Penegakan hukum terhadap para koruptor masih dengan cara-cara yang biasa saja. Harusnya, penanganan tindak pidana korupsi bisa dilakukan secara cepat dan tepat sasaran, sehingga tidak menguras tenaga dan biaya tinggi. Tindak pidana korupsi pun kerap melibatkan aparat hukum itu sendiri, yakni hakim, pengacara, pegawai pajak, dan polisi. Perlu ketegasan yang ekstra dari seorang SBY untuk menindak bawahannya yang terlibat kasus korupsi, termasuk para petinggi Partai Demokrat sendiri yang kini tengah dibelit permasalahan hukum.
Pada poin kedua, kita telah memiliki lembaga antikorupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah berjalan selama tiga periode kepemimpinan. Komisi ini memang telah menunjukkan sejumlah prestasi dengan mempidanakan beberapa koruptor baik di pusat maupun di daerah, meski di lain pihak masih banyak kasus yang ditangani terkesan tebang pilih dan berpihak pada partai pemangku kekuasaan. Untuk itulah perlu dibentuk lembaga penyeimbang, sebuah lembaga pengawas kinerja KPK, yang anggotanya berasal dari masyarakat awam, praktisi hukum, wartawan dan akademisi.
Pada poin ketiga, pemberantasan korupsi adalah tugas utama KPK. Namun kita tidak bisa hanya bersandar pada KPK yang cuma memiliki penyidik kurang dari 200 orang. Justru tugas ini adalah juga tugas utama kepolisian dan kejaksaan yang memiliki asset sampai ke bawah, bahkan sampai ke tingkat kecamatan. Artinya, dengan jaringan itu, korupsi di tingkat paling bawah pun bisa diberantas. Pemerintah seharusnya yang menjadi ujung tombak pencegahan dan pemberantasan korupsi, karena pelaku korupsi mayoritas melibatkan orang pemerintahan sendiri.
Poin keempat, adalah dilematis saat masyarakat dituntut turut memerangi korupsi ketika pelapor tindak pidana korupsi (whistle blower) malah dijadikan tersangka dan dipidanakan. Namun bila masyarakat memilih diam dan bersikap apatis pun tentu tidak baik. Diperlukan keseriusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk lebih peduli pada saksi pelapor dan memberi jaminan perlindungan, serta tidak memenjarakan saksi pelapor bila memang benar.
Partisipasi masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dimulai dengan mengatur perilaku sehari-hari, seperti jujur, ulet, cekatan, kerja keras, murah hati, dan selalu menolak ketidakadilan. Etos ini menentukan arah orientasi sosial yang siap menentang mentalitas jalan pintas, kepentingan diri, dan aji mumpung. Etos ini juga merupakan cara paling ampuh melawan sikap pendorong utama korupsi. Perlu sanksi hukum yang berat bagi para koruptor. Perlu ditumbuhkan indignation (protes dan tidak terima) terhadap koruptor dan pelakunya, bila perlu mengucilkannya.
Poin kelima, korupsi sistemik dan ‘berjamaah’ hanya bisa diatasi dengan perubahan yang radikal pada sistem birokrasi yang korup yang kita anut selama ini. Tidak hanya bersifat retorika, tapi benar-benar diimplementasikan dalam struktur pemerintahan yang terorganisir dengan baik.
Meritasi atau perampingan birokrasi perlu dilakukan. Dari segi pengeluaran bulanan untuk gaji pegawai yang berjumlah begitu besar sebenarnya hanya memboroskan keuangan negara. Sedangkan dari sudut kesempatan korupsi, kondisi itu dapat memudahkan munculnya pos-pos anggaran fiktif serta penggelembungan dana di luar kebutuhan anggaran riil. Lebih dari itu, pada saat yang sama, besarnya jumlah pegawai justru menjadi faktor utama lambannya kinerja sebuah instansi atau departemen serta buruknya pelayanan publik.
Peningkatan efektivitas dan efisiensi pemerintah serta good and clean governance tak mungkin tercapai tanpa reformasi, perubahan mendasar di tubuh birokrasi. Reformasi itu mencakup peremajaan pegawai, sistem rekrutmen pegawai secara transparan, serta pengawasan rutin terhadap semua alokasi anggaran kegiatan.
Dari kelima strategi memberantas korupsi tersebut, kita dapat memetik sebuah pelajaran berharga, bahwa memerangi korupsi di negeri ini tidak melulu harus fokus pada manusianya, namun juga sistem yang memberikan peluang dilakukannya korupsi. Perlu hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, misalnya ‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan hukuman denda 1.000 kali lipat dana yang telah digelapkannya. Bahkan bila perlu dibuat undang-undang denda khusus koruptor. Bila rakyat biasa saja akan didenda bila terlambat membayar rekening listrik, kenapa kepada para koruptor tidak? Mereka nyata-nyata telah mencuri uang rakyat, harus mendapatkan hukuman penjara dan hukuman denda. Semoga usulan yang ‘sederhana’ ini dibaca anggota dewan yang terhormat dan dapat diwujudkan dalam bentuk undang-undang.***