Oleh : Deny Sinatra/Pemimpin Redaksi Metro Surya
Kiprah partai politik saat ini benar-benar sedang dipertaruhkan. Banyaknya elit politik sejumlah parpol yang tersandung korupsi menunjukkan bahwa, partai politik saat ini perlu dipertanyakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Seharusnya, partai politik aktif dalam gerakan antikorupsi, bukan justru sebaliknya. Partai politik harus segera menyadari persoalan ini agar tidak melahirkan konflik yang berkepanjangan dan dapat memupus harapan publik akan kiprah partai.
Sementara itu, ditetapkannya anggota DPR dari Fraksi Demokrat,
Angelina Sondakh sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi wisma atlet, merupakan pukulan telak bagi Partai Demokrat. Setelah Angelina Sondakh tidak tertutup kemungkinan akan ada lagi kader Demokrat yang menjadi tersangka.
Bahkan, ada yang berpendapat pasca-2014, sejumlah kader dan petinggi Partai Demokrat bermasalah dengan hukum. Prediksi tersebut sah-sah saja mengingat beberapa waktu terakhir sangat banyak kader Demokrat yang bermasalah, namun masih bisa lolos dari jerat hukum karena mungkin saja ada intervensi dari kekuasaan.
Beberapa waktu terakhir, misalnya, sejumlah petinggi Partai Demokrat disebut-sebut bermasalah dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Tidak tanggung-tanggung, Nazaruddin menyebut nama Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, ikut menikmati, bahkan disebut mengatur pemenang tender proyek pemerintah.
Selain itu, masih banyak nama lain yang disebut seperti Andi Mallarangeng, Jafar Hapsah, termasuk Angelina Sondakh yang kini berstatus tersangka. Menurut penilaian kita, dengan dijadikannya Angelina Sondakh sebagai tersangka, setidaknya sudah dua pejabat teras Partai Demokrat yang diduga terlibat korupsi.
Angelina Sondakh saat ini menjabat Wakil Sekjen Partai Demokrat. Kalau elite-elite partai terlibat, Partai Demokrat telah tercoreng sebagai partai yang mengusung kampanye antikorupsi. Partai ini sudah tidak layak disebut sebagai partai pengusung antikorupsi. Apalagi, Angie - demikian panggilan akrab mantan artis ini termasuk salah satu anggota tim pemenangan Partai Demokrat dan anggota Tim Sukses SBY-Boediono dalam Pemilu 2009. Angie ketika itu didaulat menjadi bintang iklan pemenangan SBY-Boediono dan Partai Demokrat.
Angie membintangi iklan antikorupsi dengan tagline yang masih membekas di benak kita, "Katakan Tidak pada Korupsi". Kini, justru petinggi partai yang juga bintang iklan untuk meraih simpati masyarakat itu terbelit kasus korupsi. Kasus ini mengingatkan kita akan ungkapan lama yang sering kita dengar@power tends to corrupt@atau kekuasaan cenderung korup. Dalam kurun dua periode berkuasa, sudah banyak kader Demokrat bermasalah. Bahkan, kasus bailout@Bank Century diyakini banyak pihak dinikmati partai berkuasa ini, meskipun pembuktiannya tidak terlalu mudah.
Terbukti skandal Bank Century ini tidak mengalami kemajuan dalam proses hukum, sekalipun indikasi korupsinya sudah disebutkan instansi terkait. Sebagaimana telah disinggung di atas, dengan banyaknya oknum Partai Demokrat terlibat kasus korupsi membuktikan bahwa kekuasaan itu telah dimanfaatkan untuk melakukan korupsi, meskipun oleh oknum-oknum partai. Apa yang menjerat Nazaruddin dengan korupsi melalui sejumlah perusahaannya merupakan bukti konkret bahwa dengan berkuasanya Partai Demokrat, mereka bisa memperoleh berbagai kemudahan mendapatkan proyek, bahkan mengatur proyek dari hulu hingga hilir; yakni mengatur anggaran proyek hingga perusahaan pemenang pekerjaan proyek.
Kasus itulah yang kini menjerat sejumlah petinggi Partai Demokrat. Masih pantaskah Partai Demokrat mengusung diri sebagai partai antikorupsi? Apa yang bisa kita harapkan dari partai berkuasa yang oknum-oknumnya banyak korup? Kita yakin ini bukan kebijakan partai, karenanya ini momentum bagi partai ini untuk berbenah dan membersihkan semua pihak yang terindikasi korup.@
Melukai Hati Rakyat
Memang harus diakui bahwa perilaku para politisi saat ini dituding mencederai hati nurani rakyat. Politisi ini tidak hanya dikenal sebagai pengurus partai politik. Mereka juga duduk di parlemen dan lembaga eksekutif sebagai fungsionaris partai politik. Perilaku elite partai politik yang melukai hati rakyat ditunjukkan melalui minimnya peran mereka dalam merespons aspirasi aktual rakyat. Elite partai politik terkesan bersikap apatis ketika rakyat menghadapi berbagai masalah.
Sikap kritis politisi partai politik cenderung tampak mengemuka hanya menjelang ajang suksesi politik di lembaga perwakilan rakyat maupun lembaga eksekutif. Umumnya dalam momen semacam itu elite politik beramai-ramai menggagas konsep kegiatan yang menge sankan sikap prorakyat dan simpati pada nasib rakyat banyak. Kritik pedas terhadap kepincangan pembangunan seakan tumpah-ruah di hadapan calon pemilih mereka. Namun, setelah mereka terpilih menjadi wakil rakyat tidak semua janji di hadapan pemilihnya diupayakan terbukti secara konkret.
Politisi yang menang pilkada bupati/wali kota, pilgub, maupun pilpres pun tidak menunjukkan prestasi optimal dalam memperjuangkan aspirasi dan nasib rakyat. Ironisnya, ada sementara oknum elite politik yang telah dipilih rakyat untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat maupun lembaga eksekutif di pusat dan daerah malah tersangkut perbuatan tercela. Kabar wakil rakyat, bupati, wali kota, dan gubernur yang disebut-sebut terseret skandal korupsi bukan sekali dua kali diberitakan media massa.
Selain sejumlah anggota DPR yang telah terbukti terlibat skandal korupsi, wakil rakyat lainnya pun dikabarkan justru sibuk dengan perilaku hampir sama. Ini tercermin dari terkuaknya kabar tak sedap berkaitan kebijakan dana miliaran rupiah untuk renovasi gedung DPR, dugaan skandal korupsi yang disebut-sebut melibatkan pimpinan Badan Anggaran, termasuk mencuatnya pernyataan sikap saling serang antarelite. Perilaku tidak terpuji wakil rakyat tadi seharusnya memancing reaksi keras pengurus partai politiknya.
Pengurus partai politik seharusnya mengambil tindakan tegas terhadap oknum wakil rakyat nakal dan korup itu. Tetapi, kenyataannya harapan semacam ini hanya tinggal harapan. Tindakan tegas tadi jarang terdengar datang dari kebijakan partai politik jika ada fungsionaris partai politik di DPR atau DPRD berulah mencederai hati nurani rakyat. Yang ada justru perilaku bernada pembelaan. Ulah tercela fungsionaris dan pengurus partai politik semacam itu mencerminkan rendahnya integritas moral mereka. Oleh karena itu, maka kini menjadi muncul pertanyaan bagi kita semua. Masih adakah sesungguhnya partai antikorupsi?. Semoga saja masih ada.***