Headline

Dana Daerah Habis Di Belanja Rutin

Ilustrasi

Bappenas menilai ruang fiskal daerah terlalu sempit untuk mendanai kegiatan pembangunan karena rata-rata hampir 80% dari APBD habis digunakan untuk belanja rutin. Idealnya, porsi anggaran belanja rutin di-tekan menjadi sekitar 30% dan sisanya digunakan untuk meningkatkan kapasitas belanja pembangunan
Max Hasudungan Pohan, Deputi bidang Pengem-bangan Regional & Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Ba-ppenas), menuturkan pada umumnya ruang fiskal dari sebagian besar daerah di Indonesia terlalu kecil untuk bisa mengembangkan pe-rekonomiannya. Pasalnya, sekitar 70%-80% fiskal daerah habis digunakan untuk belanja rutin, seperti bayar gaji pegawai.
“Kalau menurut saya , 30:70. Untuk belanja rutin, istilah dulu dari belanja pe-gawai, sekitar 30%. 70% lebihnya untuk mendorong pembangunan. Sejauh ini belum ada daerah yang se-perti itu,” ujar dia di kan-tornya.

Untuk itu, kata Max, pe-merintah daerah harus mulai berfikir maju untuk tidak selalu hanya mengandalkan suntikan dana dari peme-rintah pusat.
Dia mendorong pemerin-tah daerah untuk mencari sumber pembiayaan pemba-ngunan di luar APBN, 
seperti mencari hibah dan bantuan dari lembaga donor asing, serta melibatkan swasta dalam proyek-proyek da-erah.
“Kalau dengan ukuran PDRB, seharusnya peran (belanja) masyarakat dan swasta lebih besar dari peran pemerintah. Saat ini berva-riasi, 20-30% PDRB berasal dari (belanja) pemerintah (pusat), ada yang lebih besar dari itu. Tergantung kita bicara daerah mana,” ujar dia. Dalam konsep desen-tralisasi fiskal, kata Max Pohan, pemerintah memiliki kewenangan yang hampir sama dengan pemerintah pusat dalam mengupayakan pembiayaan. Berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang mengatur hubungan pusat dan daerah, pemda dimungkinkan untuk menarik pinjaman, menerbit-kan obligasi daerah, atau melakukan privatisasi.
“Namun keadaan dan situasinya (saat ini) belum memungkinkan bagi daerah untuk itu, seperti menerbit-kan obligasi. Jadi masih jauhlah ya. Ada beberapa pra kondisi perekonomian dae-rah yang perlu kami dorong untuk membuat itu me-mungkinkan,” tuturnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No.149/PMK.07/2010 dijelaskan maksimum defisit daerah yang dibiayai oleh pinjaman adalah se-besar 4,5% dari total pen-dapatan. Bagi daerah yang melampaui batas tersebut harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Direktorat Jenderal Pe-rimbangan Keuangan (DJ-PK), Kementerian Keu-angan, dalam bukunya yang berjudul ‘Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011’ mengungkapkan dari total 524 daerah di Indonesia, sedikitnya ada 21 daerah yang persentase pembia-yaannya melampaui batas maksimal yang sudah dite-tapkan. Tertinggi adalah ka-bupaten Penajam Paser Utara sebesar 34,26% dan terendah kabupaten Biak Numfor 4,69%.
Dalam buku tersebut, DJPK juga mempertanyakan sumber dana yang digu-nakan oleh 19 pemerintah daerah dalam menutup defisitnya, mengingat ren-cana penarikan pinjamannya dalam APBD 2011 tidak mencukupi untuk itu. 
Kota Gorontalo  menem-pati urutan teratas, dengan besaran  defisit yang tidak tertutup oleh pembiayaan mencapai Rp23,41 miliar, sedangkan yang terendah Kota Ternate sebesar Rp1,3 miliar.
Penyelewengan
Sementara itu, menurut ahli hukum keuangan daerah Universitas Indonesia Har-santo Nursadi penempatan dana daerah untuk deposito dan sejenisnya seperti itu memang celah hukum. Dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang Keuangan Daerah, pemerintah daerah bisa mencari bunga dari dana tersebut. Pendapatan bunga disebut sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah.
Tindakan penempatan dana daerah ke dalam de-posito, kata Harsanto, se-benarnya sah secara hu-kum. Tidak ada aturan yang melarang pemerintah daerah melakukannya.
Harsanto juga menepis kemungkinan pemberian batas waktu bagi daerah untuk segera memanfaatkan dana dari pusat. “Diberi san-ksi pun susah, pusat tidak mungkin lagi menahan ang-garan, karena dananya sudah di daerah,” jelasnya.
Menurut Harsanto, ter-penting adalah memastikan pemerintah daerah memiliki rencana kerja jelas dan disiplin dengan rencana itu. “Cuma memang, hanya se-jauh itu, tidak bisa dipak-sakan,” katanya.
Sebabnya, kata Harsan-to, penilaian penyerapan anggaran dilakukan di akhir tahun anggaran. “Artinya, kalau dana dicairkan di awal, meski belum digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama, tidak ada ma-salah sepanjang pada saat proyek akan berjalan, da-nanya tersedia,” ujarnya.
Celah hukum ini juga diakui anggota Komisi Keu-angan DPR, Achsanul Qo-sasi. Menurutnya, tidak bisa memaksakan pemerintah daerah segera meman-faatkan dana itu. “Penilaian kinerja anggaran itu kan di akhir tahun,” ujarnya.
Meski demikian, Achs-anul sedikit mengkoreksi dana tersebut. Menurutnya, dana Rp80 miliar itu me-rupakan dana bagi hasil. “Artinya memang hak Pem-kab Batubara untuk meng-gunakannya. Memang, po-tensi penyelewengannya sulit dicegah,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah berupaya meng-optimalkan anggaran daerah yang dibayarkan oleh Keme-nterian Keuangan kepada sekitar 524 daerah di seluruh Indonesia.
Direktur Jenderal Perim-bangan Keuangan Marwanto Harjowiryono mengatakan optimalisasi itu dilakukan dengan membuat sejumlah strategi pengalokasian dana ke daerah sebagai perwu-judan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keua-ngan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Da-erah.Mengenai desentra-lisasi fiskal, akan disusun bebera-pa strategi agar dana transfer ke daerah dapat diopti-malisasi. Antara lain penga-lokasian dana dari belanja daerah yang di-berikan untuk belanja modal.
Nantinya, ada kebijakan pada daerah mengaloka-sikan sekian persen belanja daerahnya untuk belanja kapital. “Ada pemikiran juga bahwa belanja pegawai itu harusnya di-cap,” jelasnya.
 Namun, ia menambah-kan, strategi tersebut masih dalam pembahasan. “Kita tidak mau kalau aturan itu tidak bisa diimplemen-tasikan di lapangan,” tam-bahnya.Idealnya, peng-gunaan anggaran daerah sangat bergantung pada manaje-men di daerah itu sendiri. “Sebetulnya, bagian DAU (Dana Alokasi Umum) sudah block grant, dan sangat tergantung pada manajemen di daerah,” pungkas Mar-wanto.ms


INDEKS BERITA