Si Rakus Sang Penguras Kalimantan

 OLEH : MARDIONO/METRO SURYA
Desa Muara Dua Keca-matan Seruyan Hilir kabu-paten Seruyan Kalteng (Ka-limantan Tengah) adalah sebuah desa terpencil di bantaran sungai Seruyan. Sungai yang lebarnya 218 m (saat pasang) dan 100 m (saat surut) membelah desa yang terdiri dari 3 dusun, 116 KK dan 464 jiwa. Mereka tinggal di tepi sungai itu secara turun temurun dan dengan
kearifannya mengelola sumber daya alam secara lestari. Ikan air tawar merupakan penghasilan pokok, oleh karena itu su-ngai menjadi urat nadi bagi kehidupan warga. Kehidupan mereka selama ini mulai harmonis sejak deru mesim penebang kayu dan hilir mudik tongkang pengangkut log tidak lagi terdengar. Alat-alat pemerkosa alam itu telah pergi bersama habisnya ka-yu sekitar desa. Namun ketentraman warga desa akhir-akhir ini kembali te-rusik. Kalau dulu oleh pe-nebang-penebang kayu sekarang oleh perkebunan sawit yang siap mencaplok lahan mereka dengan ganti yang tak sepadan.

Lumbung Pangan
Seperti di ketahui,pola kehidupan masyarakatnya sejak jaman nenek moyang hinggga saat ini menjadikan sungai sebagai urat nadi kehidupan. Warga meman-faatkan sungai sebagai sarana transportasi, sumber penghasilan sehari-hari, sebagai tempat MCK, sum-ber air minum, pendek kata warga tidak mungkin dapat hidup tanpa sungai ini. Lebih dari 50 spesies jenis ikan hidup di Sungai Seruyan dan warga memanfaatkannya secara arif. Kearifan itu tampak sekali dalam praktek penangkapan ikan. Alat penangkap ikan mulai dari jala sampai dengan bubu semuanya dibuat dengan ukuran tertentu dengan maksud ikan yang ditangkap hanya yang besar-besar saja sementara ikan kecil dibiarkan tetap hidup. Dengan demikian sumber daya ikan akan terus tersedia meskipun setiap hari tidak kurang dari 1 ton ikan segar ditangkap oleh masyarakat. Ikan merupakan penghasilan utama dan nyaris tidak ada penghasilan lain selain dari ikan. Apabila mereka pergi ke hutan untuk mencari kayu, rotan atau hasil hutan lainnya tidak untuk dijual, melainkan untuk kebutuhan rumah tangga. Harga ikan paling murah Rp. 5.000,- per kg, dan ada jenis-jenis tertentu seperti ikan patin, udang, toman, arwana dan jenis tertentu lainnya, harga per kg bisa lebih dari Rp. 50.000,-.
Pada musim paceklik ikan, pendapatan mereka paling sedikit 5 kg per hari, tetapi pada musim banyak ikan pendapatan mereka bisa mencapai kwintalan per hari. Hasil tangkapan ikan selain untuk kebutuhan konsumsi pokok keluarga juga dijual untuk ditukarkan dengan kebutuhan pokok lainnya seperti beras, pakaian, kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan barang mewah TV, VCD, Antena Parabola, Spring Bed, perabotan rumah tangga dan juga untuk kebutuhan biaya sekolah anak-anaknya.
Desa Muara Dua masyarakatnya dapat hidup makmur dengan me-ngandalkan pengelolaan sumber daya alam terutama ikan segar air tawar di alam.
Lestarikan Alam.
Trauma masyarakat atas tindakan para ekplorator hasil hutan khususnya hasil hutan kayu belum hilang sepenuhnya. Sisa-sisa ketakutan masih sering muncul dan diekspresikan dengan keha-ti-hatian terhadap para pen-datang yang belum jelas asal-usal dan tujuannya. Sebetulnya mereka sangat terbuka mau bekerja sama dengan siapapun asal tu-juannya jelas dan tidak merusak lingkungan.
Namun toh begitu, ge-lombang globalisasi yang diperkuat dengan pilar-pilar kapitalistik akhir-akhir ini sudah mulai merambah ke desa yang sebetulnya sa-ngat sulit dijangkau dengan transportasi apapun. Perkebunan kelapa sawit rupanya menjadi trend di bumi Borneo. Para pemegang ijin konsensi HPH (Hak Pengelolaan Hutan) tidak tertarik lagi untuk mereboisasi lahan yang pernah mereka acak-acak dan kini tinggal sisa-sisa berupa padang ilalang dan semak belukar. Entah dengan baju baru atau se-kedar menganti baju lama para investor itu kembali menjadi momok bagi warga desa untuk menancapkan kukunya lagi berupa penanaman sawit di lahan sekitar desa.
Beberapa desa tetangga Muara Dua sudah ada yang melepas tanahnya dan se-karang sudah habis dikuasai oleh perusahaan sawit dengan harga sangat minim per ha. Nilai ganti rugi tersebut hanya cukup untuk membeli beras tak sampai se-kwintal karena di Muara Dua dan sekitarnya harga beras masih tinggi. Perusahaan kelapa sawit tersebut terus melakukan provokasi secara sistematis dengan sejuta janji-janji manis ke-pada masyarakat. Yang le-bih mengherankan lagi pro-mosi sawit ini mendapat dukungan dari eksekutif maupun legislatif setempat. Para birokrat tersebut ikut promosi sampai ke desa-desa agar masyarakat mau melepaskan lahannya ka-rena perkebunan kelapa sawit akan menyerap tenaga kerja lokal sehingga warga bisa bekerja sebagai karyawan. Desa Muara Dua yang diuntungkan secara geografis karena berada di bagian hilir dari lahan-lahan sasaran sawit tak henti-hentinya mendapat tekanan dari pihak-pihak yang pro terhadap tanaman sawit.
Muncullah sikap kritis warga Muara Dua juga diikuti oleh Desa Baung, Desa Palingko, Desa Tanjung Hanao dan beberapa desa lainnya. Warga desa yang sudah terlanjur menjual tanahnya ke perusahaan sawit belum terlalu banyak, tetapi tanah yang dijual itu berbatasan langsung dengan desa-desa yang tidak bersedia tanahnya dijual sehingga potensi konflik antara warga dan antar desa sangat besar peluangnya.
Usaha-usaha lobi mulai dari tingkat Camat, Bupati, Partai-Partai, Gubernur, LSM dan beberapa individu yang mereka pandang mempunyai kepedulian terhadap nasib mereka sudah ditempuh, tetapi hasilnya tetap saja belum memberikan kepastian. Mereka yang selama ini dianggap sebagai pengayom masyarakat jus-tru lebih memihak sawit daripada nasib warga desa. Memang mereka kecewa. Tetapi sebagai anak alam yang biasa hidup dengan kearifannya, mereka tidak berhenti dan pasrah atas ancaman yang dihadapi.
Harapan lebih jauh, para pengambil keputusan dapat melihat kondisi desa Muara Dua secara bijak bahwa tanah-tanah itu dimanfaatkan untuk melanjutkan kehidupan anak cucu. Warga desa hanya memerlukan lahan secukupnya tidak lebih. Jadi kalau para investor mau sedikit berbagi bumi Borneo ini masih terlalu luas dan tidak perlu mengusir mereka dari kehidupan yang dibangun sejak nenek moyang mereka. Ketika beberapa warga daerah lain menjerit kelaparan, sementara ada sekelompok masyarakat yang mampu mengelola sumber daya alam secara lestari sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan warga terjamin.
Semestinya kearifan warga Desa Muara Dua dan desa-desa sejenis mendapat dukungan bukan malah diancam dengan mega proyek perkebunan kelapa sawit. Belum puas-kah si rakus itu menguras Kalimantan? ***

INDEKS BERITA