Menggugat Anggaran Parpol

Beberapa waktu yang la-lu, dalam sebuah acara televisi kita dikejutkan de-ngan pernyataan Sekretaris Dewan Kehormatan partai demokrat Amir Syamsudin. Partai pemenang pemilu 2009 itu, ternyata menda-patkan suntikan dana 13 miliar rupiah pertahunnya ha-nya dari  M. Nazarudin. Luar biasa. Lalu menimbulkan pertanyaan bagaimana de-ngan setoran dana lainnya?
Nama Nazarudin me-mang menjadi pembicaraan khalayak ramai belakangan ini.  Sebabnya, Nazarudin yang memiliki posisi sebagai Bendahara umum partai demokrat itu, akhirnya diber-hentikan. Pemberhentiannya dilatar-belakangi lantaran disebut-sebut tersangkut kasus dugaan suap Wisma Atlet di Kemenegpora dan pemberian uang kepada Mahkamah Konstitusi.
Nazarudin dinilai seba-gian pengamat adalah salah seorang korban dari ‘sistem politik yang korup’. Tidak bi-sa dipungkiri dan menjadi gunjingan umum, masuknya seseorang ke dalam partai sering kali dikaitkan dengan peran ‘setoran dana’.  Itu karena hingga saat ini, dana partai yang berasal dari APBN dan APBD dinilai belum mencukupi opera-sional partai. Keberlang-sungan hidup partai ke-mudian beralih kepada setoran dari berbagai pihak.  Selain itu, UU yang tidak tegas disinyalir menjadi pemicu datangnya dana ‘haram dan ilegal’ yang berasal dari pengusaha atau konglomerat hitam yang tentunya memiliki kepen-tingan.
Dengan situasi ini, tentu saja partai menjadi rentan terhadap intervensi. Lalu bagaimana mungkin partai kemudian memperjuangkan aspirasi rakyat? Dan ba-gaimana partai menguta-makan kepentingan negara jika kaki dan tangannya terbelenggu dana pihak lain dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu?

Sistem Politik Korup
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia mendapat kri-tikan masyarakat luas ka-rena dinilai boros, tidak efektif dan menghabiskan banyak dana. Uang negara dan dana kampanye yang dihabiskan mencapai ra-tusan triliun rupiah dari pemilihan presiden hingga kepala daerah.
Dari semua itu, tentu saja keberadaan partai politik menjadi sentralnya. UU Pe-milu mengatur partai politik menjadi satu-satunya ken-daraaan untuk pengajuan Capres-Cawapres, anggota legislatif hingga calon kepala daerah.
Untuk kegiatan opera-sionalnya, partai politik mendapatkan dana dari iuran anggota, sumbangan yang sah dan dana dari APBN serta APBD( Pasal 34 UU Partai Politik). Namun sa-yangnya, UU partai politik belum secara tegas me-ngatur pengawasan dana partai dan bahkan memiliki kelemahan. Sebut saja soal pertanggung-jawaban pelaporan keuangan parpol yang harus transparan dan akuntabel. UU itu hanya menyiratkan soal audit tanpa kewenangan menelusuri lebih jauh asal-muasal dana dan tidak memiliki sanksi tegas. Selain itu, UU partai belum mengkategorikan laporan keuangan parpol sebagai ranah hukum jika terjadi penyimpangan.
Kelemahan dari UU parpol yang terkesan di-biarkan itu, membuat partai menjadi “kreatif”, sayangnya dalam konotasi negatif. Dengan keterbatasan dana dari APBN dan APBD, partai akhirnya menggantungkan hidupnya kepada setoran dana dari anggota dan dari luar. Mesin partai kemudian disinyalir bergerak dengan pelumas setoran pihak ter-tentu. Pengusungan calon dan jual beli posisi di partai juga sering kali dikaitkan de-ngan seberapa besar setoran yang diberikan. Selain itu, yang membuat kita sangat khawatir adalah masuknya dana ‘haram’ atau ilegal dari pengusaha dan konglomerat hitam. Diduga juga, se-ringkali mereka hadir dengan sejumlah agenda, mulai dari mengincar jabatan partai, masuk ke dalam program partai hingga keberpihakan terhadap kebijakan yang menguntungkan pribadi atau kelompok tertentu saja.
Dapat dipastikan jika ini memang terjadi dan terus dibiarkan, maka situasi politik di Indonesia menjadi tidak sehat dan korup karena semuanya diukur dengan kekuatan uang. Padahal partai politik adalah jem-batan aspirasi rakyat, di pundaknya sejuta harapan diletakkan. Di tubuh Partai politik pula semestinya terjadi proses pengkaderan dengan munculnya para pejuang politik dan para calon pemimpin bangsa ini.
Bayangkan jika semua yang dihasilkan parpol dicemari dengan setoran dana yang tidak jelas dan adanya agenda dari pihak tertentu. Secara otomatis, jelas implikasinya menga-caukan pengkaderan, pe-rubahan kebijakan partai dan kebijakan para pemimpin bangsa yang berasal dari parpol. Apa jadinya nasib rakyat dan bangsa ini?

Perbaikan Aturan
Untuk saat ini, sebaiknya ada kesepakatan dan niat baik dalam menjaga ke-murnian pergerakan partai politik. Sejumlah perbaikan tentu saja bisa dimulai dari pembuatan peraturan yang memadai. Ke depan revisi UU paket politik yang me-liputi UU partai politik, UU pemilu dan UU penyeleng-garaan pemilu menjadi ke-niscayaan.
Revisi UU paket politik terutama UU Partai Politik setidaknya secara tegas mengatur pemberian sanksi berupa adanya mekanisme hukuman dan pertanggung-jawaban aliran dana partai politik secara transparan dan akuntabel.
Revisi juga sebaiknya mempertimbangkan: (1) pencantuman hubungan penyumbang termasuk sum-ber, jenis dan jumlah du-kungan serta pengeluaran agar siap diaudit. (2) me-larang penggunaan sumber daya negara untuk tujuan politik dengan pengawasan oleh pemerintah. (3) mem-buat batasan pengeluaran dana partai politik pada pemilu, guna menghindari penggalangan dana yang berlebihan sekaligus men-ciptakan persaingan yang tidak sehat.
Di sisi lain, dalam me-nunjang dana operasional ke depan, sebaiknya parpol tidak hanya menggantung-kan dari APBN, APBD dan setoran publik, namun juga dari hasil usaha.
Dengan aturan main yang jelas dan tegas dalam se-buah peraturan UU dan keman-dirian partai, bisa diharapkan sistem per-politikan Indonesia menjadi lebih sehat. Untuk itu, ke-mandirian partai dan Per-tanggung-jawaban yang trasnparan atas penggu-naan keuangan harus bisa diterapkan.
Kita berharap partai politik benar-benar terbebas dari intervensi dan menjadi jembatan aspirasi rakyat sekaligus menghasilkan para politisi dan calon pe-mimpin yang berkualitas untuk kehidupan indonesia yang lebih baik.***

INDEKS BERITA