Proyek Pemerintah Rawan Suap

Ilustrasi
Jakarta, MS-Menurut Ichsanuddin, praktik suap itu biasa terjadi di panggung bisnis. Hanya saja, jika praktik suap itu melibatkan institusi negara, bisa berdampak buruk terhadap iklim penegakan hukum. Pasalnya, perkara penyuapan yang me-nyeret institusi pemerintahan akan memicu praktik-praktik koruptif.

Ichsanuddin mengungkapkan, konspirasi yang terjadi di dunia nyata itu hanya akan berujung pada sanksi moral serta sanksi sosial dari publik. Terutama dijatuhkan kepada oknum-oknum elit politik yang ikut bermain. Pasalnya, sistem peradilan di Indonesia masih terjebak pada aspek “legal positivism”. Itu yang selama ini digembar-gemborkan oleh elit parpol pemegang tampuk kekuasaan saat ini.Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Indonesia, Aviliani menilai praktik suap yang dilakukan oleh perusahaan BUMN sudah berlangsung sejak lama.


Meskipun belakangan ini pola-pola semacam itu sudah jauh berkurang. Terutama di perusahaan pelat merah yang sudah berstatus perusahaan terbuka (Tbk) karena adanya kewajiban keterbukaan dan transparansi. Se-tiap proses tender yang dilakukan emiten, termasuk BUMN Karya, harus dilaporkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

“Yang masih sulit untuk dipantau adalah perusahaan BUMN yang belum berstatus Tbk. Misalnya saja, Pertamina atau PLN karena praktik penyelewengan semacam itu akan lebih mudah dilakukan,” katanya.
Koordinator Monitoring dan Pengawasan Anggaran Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas menjelaskan “permainan” proyek pemerintah diduga benar-benar ada. Firdaus menceritakan proses permainan tender, khususnya infrastruktur, sangat kompleks.

Proyek ini sudah dirancang dari awal, sehingga menjadi “bancakan” bersama. “Umumnya pengerjaan proyek itu selalu dilakukan pada tiga bulan terakhir setiap tahun. Pada Oktober, November dan Desember, kontrolnya sangat longgar,” ujar Firdaus.

Harus Menyuap

Contohnya Survei Indonesia Procurement Watch (IPW) menunjukkan 97,3% perusahaan  di wilayah Jabodetabek tidak meyakini dapat memenangkan proses tender barang atau jasa tanpa melakukan praktik suap kepada pemerintah.

Direktur IPW Hayie Mu-hammad mengatakan res-ponden menilai praktik suap merupakan bagian yang sulit dilepaskan dari proses tender proyek-proyek pemerintah. Oleh karena itu, sambungnya, hal tersebut mem-buat mereka berupaya keras mendekati jajaran birokrat dan pejabat yang berkuasa.

“Menurut responden, sangat sulit dan hampir mustahil mereka dapat memenangkan proses tender, tanpa memberikan suap. Ini ditunjukkan dengan hasil survei yakni 97,3% jawaban dari responden me-ngenai hal tersebut,” ujar Hayie.

Sementara hasil lainnya adalah 1,1% responden yang menjawab dapat memenangkan tender tanpa suap serta 1,6% menyatakan tidak tahu atas pertanyaan survei. Dengan demikian, sambungnya, praktik suap telah menjadi se-suatu yang harus dilakukan oleh para rekanan atau pengusaha.

Survei IPW dilakukan pada 792 responden dengan empat bidang usaha yakni barang (40%), konstruksi (25%), konsultan (25%) dan jasa lainnya (10%). Metode dilakukan dengan telepon, mendatangi langsung dan melalui situs IPW.

Hasil lainnya dari survei  itu adalah 92,7% responden menyatakan pernah memberikan suap kepada penyelenggara negara terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Sedangkan 1,3% menyatakan tidak pernah dan 6,0% menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.

“Gambaran jawaban res-ponden memberikan gambaran jelas betapa suap telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari proses pe-ngadaan pemerintah. Suap sudah menjadi keharusan. Tanpanya, mereka akan sulit berkompetisi untuk menda-patkan kontrak,” kata Hayie.

Hal itu diperkuat hasil survei lainnya yakni sebanyak 89,7% responden menyatakan tujuan suap adalah untuk memenangkan proses tender. Sedangkan 4,3% adalah sebagai hadiah, ucapan terima kasih 3,9% dan tidak tahu 2,1%.

IPW juga menunjukkan sebanyak 72,3% responden mengatakan pejabat baik itu panitia pengadaan atau orang dalam adalah pihak yang berinisiatif untuk melakukan pengaturan tender. Sedangkan 15,7% adalah mafia tender, 8,7% perusahaan dan 3,3%  tidak menja-wab.

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto  pernah me-ngatakan, pengadaan barang secara elektronik (e-procurement) merupakan salah satu pendekatan terbaik dalam mencegah terjadinya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dengan mekanisme itu, sambungnya, peluang untuk kontak langsung antara penyedia barang dan jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil, lebih transparan, lebih hemat waktu dan biaya.

“Selain itu pelaksanaannya mudah untuk melakukan pertanggung jawaban keuangan. Hal tersebut dikare-nakan sistem elektronik tersebut mendapatkan sertifikasi secara internasional,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Menurut bibit, sejumlah keuntungan dalam penga-daan barang melalui mekanisme elektronik adalah terjadi efesiensi dalam APBN, jangka waktu pengadaan lebih cepat, persaingan sehat antar penyedia barang dan jasa, serta meng-hilangkan sistem ‘arisan’ di antara pengusaha.

Terkait dengan hal itu, penanganan kasus korupsi di KPK juga lebih didominasi pada proses pengadaan barang yakni mencapai 70% dibandingkan dengan kasus lainnya.

Oleh karena itu, lembaga antikorupsi itu bekerja sama dengan instansi terkait untuk terus mendorong e-procurement pada setiap lembaga pemerintah.

Dibelit Praktik Kotor
“Aksi kotor yang sangat memprihatinkan itu sebe-narnya sudah berlang-sung lama. Namun, masalah se-benarnya bukan hanya saat lelang. Saat planning dan budgeting juga sering sudah bermasalah,” papar Agus Rahardjo, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Ba-rang/Jasa Pemerintah.
Menurut Agus, peren-canaan dan penganggaran yang bermasalah me-munculkan kebocoran dana proyek. “Tak mungkin ada pagu hingga 20 persen yang dihadiahkan kepada se-jumlah pihak jika peren-canaan dan penganggaran tidak bermasalah. Kemudian terjadi lelang diatur, lelang pura-pura. Sebenarnya su-dah ada pemenangnya, tidak ada kompetisi yang fair,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Ketua Umum DPP LSM Komite Pemantau Aset dan Keuangan Negara Timbul Gultom menyatakan bahwa dari temuan pihaknya di daerah-daerah, hampir se-mua kegiatan tender proyek pemerintah terindikasi tercemar praktek kolusi dan korupsi. Hal itu, terjadi lantaran tiadanya komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan tender se-cara transparan dan bersih.
“Hampir semua daerah mengalami ketidakberesan dalam pelaksanaan lelang tender proyek. Mulai dari perencanaan, proses tender sampai ke pengerjaan pro-yek, tidak ada yang bersih. Semua tercemar praktik kotor, suap-menyuap. Para kepala daerah pun seper-tinya ikut merestui per-mainan kotor dalam penga-daan jasa dan proyek pe-merintah. Jadi ini sulit dibe-rantas jika aparat hukum tidak tegas,” imbuhnya. (timMS)

INDEKS BERITA