Oleh : DENI SINATRA
Siapa bilang kasus korupsi cuma melulu di kantor-kantor pemerintahan?
Jangan salah! Justru, kasus korupsi lebih banyak terjadi di
kantor-kantor swasta. Berikut ini faktanya. Beberapa kawan saya seorang pengusaha pernah mengeluh kepada saya
tentang kondisi internal perusahaan masing-masing. Mereka adalah CEO
yang juga pemilik saham mayoritas di perusahaan tersebut. Demi menjaga
etika bisnis, saya merahasiakan identitas mereka.
Si A yang memiliki perusahaan X di bidang
pertambangan, mengaku kelimpungan menghadapi manajernya yang doyan
melakukan mark up (penggelembungan) biaya operasional di lokasi tambang.
Padahal, Si A sudah mengingatkan berulang-ulang, agar biaya tetek
bengek di luar anggaran yang diajukan tetap dicantumkan, untuk
menghindari pos anggaran biaya tak terduga.
Walhasil, setiap laporan
bulanan, ada saja ‘pos anggaran yang tak jelas’ yang sulit dipertanggungjawabkan. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Si B yang memiliki perusahaan Y di bidang
advertising, juga merasa pusing meladeni pimpinan lapangan untuk proyek
pemasangan papan-papan reklame. Pimpro tersebut kerap mencari pihak
ketiga tanpa sepengetahuan Si B. Akibat ‘tender gelap’ tersebut, hasil
kerja pemasangan papan-papan reklame tidak memuasakan, sehingga
merugikan klien perusahaan. Perusahaan merugi karena klien pindah ke
perusahaan lain.
Dan Si C yang memiliki perusahan Z di bidang
jasa transportasi rental mobil, kini dibikin stress oleh beberapa anak
buahnya yang nakal. Mereka tanpa sepengetahuan Si C menyewakan mobil
perusahaan ke pihak lain dengan memanipulasi kop surat perusahaan.
Akibatnya, uang pemasukan perusahaan menurun hingga 30 persen. Pegawai
di bagian keuangan perusahaan lebih parah, yakni tidak menyetor pajak
perusahaan ke kantor pajak tanpa pengetahuan Si C.
Mungkin, tiga contoh di atas adalah kasus
kecil permainan level manajer perusahaan, yang seharusnya menjadi ujung
tombak meraih laba. Sayangnya, akibat mental korup ini, maka membuat
perusahaan pincang karena menurunnya pemasukan. Dan yang lebih
terpenting adalah merugikan nama baik perusahaan di hadapan para klien.
Nah, korupsi tak hanya terkait dengan
kerugian negara dan badan-badan usaha yang kekayaannya milik negara atau
ada penyertaan keuangan negara. Menurut saya, korupsi di kantor-kantor
swasta juga dapat memengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan negara.
Semakin tinggi angka korupsi di kantor-kantor swasta, maka perekonomian
sebuah negara kian sulit berkembang.
Saya mencoba mencari tahu kenapa
‘benih-benih’ korupsi cukup banyak di kantor perusahaan swasta.
Ternyata, setelah saya membaca aturannya berdasarkan Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention
Against Corruption/UNCAC), kejahatan korupsi telah diratifikasi
Indonesia melalui UU Nomor 7 tahun 2006, tentang penyuapan di sektor
swasta, termasuk tindak pidana korupsi. Bahkan, dalam OECD Anti-Bribery
Convention, juga sudah diatur soal penyuapan oleh pejabat publik asing
yang menyangkut transaksi bisnis internasional.
Sayangnya, ketentuan tentang korupsi di
sektor swasta belum dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia dan belum ada satu peraturan tentang korupsi di sektor swasta.
Padahal, dalam melaksanakan bisnis diperlukan adanya kepatuhan, etika,
dan kepercayaan di sektor swasta.
Mudah-mudahan, tulisan ini bisa membuka mata
hati kita semua, tentang pentingnya memberantas pindak pidana korupsi
di manapun, termasuk kantor-kantor perusahan swasta. Saya percaya,
kalangan investor lebih memilih negara yang memihak pebisnis. Investor
yang akan menanamkan modalnya di negeri ini sangat menyukai negara yang
pelayanan publiknya bebas pungutan liar, aturan pembayaran pajak
transparan, serta adanya jaminan kepastian hukum terkait kemungkinan
sengketa bisnis melalui jalur hukum. Dan sebaliknya, investor sangat
tidak suka rantai birokrasi yang berbelit, adanya biaya tambahan dalam
pengurusan kepentingan bisnis, serta aparat penegak hukum yang korup.***