NTT, METRO SURYA
Dugaan
pelanggaran HAM yang dilakukan aparat Kepolisian kembali terjadi. Kali ini
menimpa 17 warga dusun Mappipa I dan II, desa Rae Mude, Kecamatan Sabu Barat,
Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Didampingi
aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dua
warga dusun Mapipa yaitu Saul Kanni dan Rudolof Hawu mengadukan peristiwa yang
mereka alami kepada Komnas HAM di Jakarta.
Mewakili
para korban, Saul Kanni, menjelaskan peristiwa penangkapan warga bermula ketika
Kapolsek Sabu Barat, Tomy Wila Huky dan anggota Koramil memerintahkan warga
dusun Mapipa I dan II mencari Aipda Bernadus Djawa. Aparat kepolisian yang
menjabat Kanit Reskrim Polsek Sabu Timur itu hilang ketika menjalankan tugas
mengejar pencuri kambing.
Setelah
melakukan pencarian bersama warga, Saul Kani menyebut aparat kepolisian
berhasil menemukan Bernadus Djawa di sebuah jurang. Alih-alih berterima kasih
kepada warga karena telah membantu melakukan pencarian, namun mereka malah
ditahan tanpa alasan yang jelas. Akhirnya Saul dan 16 warga lainnya yang ikut
melakukan pencarian, ditahan di Polsek Sabu Barat sejak 31 Maret 2012.
Sehari
setelah ditahan, warga baru mengetahui alasan penangkapan lewat surat
penangkapan dan penahanan. Dalam surat itu belasan warga yang ditahan dituduh
terlibat atas dugaan pembunuhan terhadap Aipda Anumerta Bernadus Djawa.
Kemudian ketujuhbelas warga itu menjalani penahanan dan pemeriksaan di Polsek
Sabu Barat.
Saul
menjelaskan bahwa warga yang ditahan mulai mendapat berbagai macam penyiksaan.
Tindak kekerasan yang dilakukan misalnya memukul dengan tangan kosong dan benda
tumpul. Bahkan, ada pula beberapa warga yang ditusuk dengan pisau di bagian
tangan dan lutut. Selama ditahan, Saul menyebut para tahanan tidak mendapat
makanan dan minuman yang baik.
“Warga
yang ditahan dipaksa makan rambut dan minum air kencing,” kata Saul ketika
melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada komisioner Komnas HAM Jakarta.
Selain
itu, Saul juga menjelaskan bahwa warga yang ditahan hanya diperbolehkan menggunakan
celana dalam selama di tahanan. Orang lain tidak diperbolehkan masuk menjenguk
para tahanan, termasuk keluarga.
Pada dini
hari, warga yang ditahan dipaksa menandatangani atau membubuhkan cap jempol di
atas lembar BAP yang sudah disiapkan aparat kepolisian. Saul mengatakan, polisi
tidak memberikan keterangan apapun terkait BAP itu, warga yang ditahan hanya
diperintah untuk menandatanganinya. Jika tidak mau tanda tangan dan menolak
perintah dari aparat kepolisian maka tahanan yang bersangkutan akan dipukul.
Pada saat
aparat kepolisian meminta keterangan kepada warga yang ditahan, Saul menyebut
aparat melakukan hal itu dengan paksaan. Saul pun mengaku dipukuli sampai
pingsan karena menolak menandatangani surat keterangan. Pasalnya, aparat
kepolisian menyuruh Saul dan tahanan lainnya mengetahui soal pembunuhan
Bernadus Djawa. “Saya dipukuli sampai setengah sadar, tubuh saya diangkat,
tangan saya dipaksa cap jempol di atas surat,” ujarnya.
Kemudian,
pada 12 April 2012, Saul mengatakan bahwa aparat Kepolisian menjanjikan akan
memulangkan para warga yang ditahan. Ternyata, Saul dkk dipindahkan ke Polres
Kupang. Lalu dipindahkan ke LP Kupang dan dikembalikan lagi ke Polres Kupang,
sampai akhirnya pada 29 Juli 2012, para warga yang ditahan dapat bebas.
Pada kesempatan
yang sama, Kadiv Advokasi Hukum dan HAM KontraS, Sinung Karto, mengatakan warga
yang ditahan baru dibebaskan setelah mencapai 120 hari masa tahanan.
Menurutnya, aparat kepolisian tidak dapat membuktikan keterlibatan Saul dkk
atas tuduhan pembunuhan terhadap Bernadus Djawa. “Berkas penyidikan tidak mampu
disempurnakan kepolisian, kejaksaan menolaknya. Warga dibebaskan demi hukum,”
tuturnya.
Menurut
Sinung, aparat kepolisian sudah bertindak sewenang-wenang terhadap warga. Oleh
karenanya Sinung menyebut KontraS akan menyambangi berbagai lembaga seperti
Komnas HAM dan Ombudsman untuk menuntaskan persoalan tindak kekerasan yang
dialami Saul dkk.
Menanggapi
laporan itu komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, mengaku sangat
menyesalkan tindakan yang dilakukan aparat kepolisian. Pasalnya, hanya untuk
memburu pembunuh, aparat kepolisian melakukan penyiksaan terhadap belasan
warga. Bagi Johny hal itu di luar nalar.
Atas dasar
itu Johny menyebut telah menerbitkan pernyataan di surat kabar lokal di NTT yang
mengecam dan keberatan dengan tindak kekerasan aparat kepolisian. Johny
berjanji akan mengusut tuntas dan membongkar tindak kekerasan yang kerap
dilakukan aparat kepolisian di NTT. “Kita akan investigasi, jelas disini ada
pelanggaran HAM,” ungkapnya. hko