PN Tanggerang |
TANGGERANG, METRO SURYA
Peradilan sesat terhadap korban salah tangkap kembali terjadi. Bila
beberapa waktu lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Hasan Basri, pengojek yang dituduh mencuri, kini peradilan sesat menimpa warga Desa Petir, Cipondoh, Tangerang bernama Marwan.
Marwan diadili dan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang
melakukan perusakan pagar milik PT Sumber Kencana Graha, perusahaan
pengembang perumahan. Hukuman Marwan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Banten.
Marwan yang mengaku tak melakukan pidana terus melakukan upaya hukum.
Didampingi kuasa hukum dari LBH Jakarta, Marwan mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Beruntung, pada September 2011, hakim kasasi membatalkan
putusan sebelumnya. Ia dibebaskan dari dakwaan jaksa penuntut umum.
Tuduhan perusakan pagar yang ditujukan kepada Marwan bermula dari
sengketa tanah. Ia menuding Sumber Kencana Graha menyerobot tanah milik
ibu sepupunya yang bernama Nasrudin. Penyerobotan itu dilakukan dengan
pemagaran tanah milik ibu dari Nasrudin.
Tak terima dengan pemagaran itu, Nasrudin lalu merusak pagar. Polisi
lalu menangkap Nasrudin. Sepekan kemudian giliran Marwan yang dicokok.
Marwan menduga penangkapan yang dilakukan oleh polisi berkaitan dengan
aktivitasnya menolak aksi penyerobatan tanah Sumber Kencana. “Maksud
mereka biar warga takut dan mau menjual tanahnya dengan harga murah,”
kata dia kepada di kantor LBH Jakarta, Rabu (15/8).
Pasca putusan MA, Marwan berharap nama baiknya dapat dipulihkan dan ada
kompensasi atas kerugian yang dialaminya. Pasalnya, selama menjalani
proses peradilan, Marwan tidak dapat bekerja, sehingga upah yang
diterima tidak seperti biasanya. Selain itu Marwan juga mendapat stigma
buruk dari orang dekatnya karena pernah masuk tahanan.
Salah seorang advokat publik LBH Jakarta, Maruli Tua Sirajagukguk,
mengatakan proses persidangan di Tangerang seolah seperti peradilan
sesat. Pasalnya ada indikasi untuk memaksakan orang yang tidak bersalah
menjadi bersalah. Dalam persidangan, Maruli mengatakan Nasrudin sebagai
tersangka mengakui telah melakukan perusakan pagar milik PT SKG. Namun,
ketika Marwan mencabut keterangan di persidangan majelis hakim
menganulirnya karena hal itu dianggap tidak beralasan. Atas dasar itu
majelis PN Tangerang memutus Marwan bersalah.
Perbaikan KUHAP
Pengacara publik LBH Jakarta lainnya, Febionesta, mengatakan kasus yang menimpa Marwan bukan kasus salah tangkap, tapi kriminalisasi. Pasalnya, dari proses penangkapan dan tuduhan yang dijatuhkan, sudah jelas mengarah pada pemidanaan Marwan. Dalam proses penegakan hukum, Febionesta melihat ada indikasi mafia peradilan, karena ada upaya memaksakan suatu kasus. Menurutnya hal ini dapat terjadi karena aparat penegak hukum yang korup.
Pengacara publik LBH Jakarta lainnya, Febionesta, mengatakan kasus yang menimpa Marwan bukan kasus salah tangkap, tapi kriminalisasi. Pasalnya, dari proses penangkapan dan tuduhan yang dijatuhkan, sudah jelas mengarah pada pemidanaan Marwan. Dalam proses penegakan hukum, Febionesta melihat ada indikasi mafia peradilan, karena ada upaya memaksakan suatu kasus. Menurutnya hal ini dapat terjadi karena aparat penegak hukum yang korup.
Pria yang akrab disapa Mayong itu mengatakan, sering menemukan aparat
kepolisian yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengkriminalisasi
masyarakat. Padahal, proses penegakan hukum dapat berlanjut kalau ada
dua alat bukti yang cukup dan harus diperoleh dengan cara yang tidak
melawan hukum.
Sayangnya, lanjut Mayong, KUHAP tidak dapat mengakomodir persoalan itu,
sehingga di beberapa kasus aparat penegak hukum seringkali mau menerima
alat bukti yang diperoleh dari kegiatan melawan hukum. Bagi Mayong,
jika alat bukti tersebut diperoleh dengan cara melawan hukum, seharusnya
tidak dapat diterima. Hal tersebut menurutnya harus diatur dalam KUHAP.
Berbagai cara melawan hukum yang kerap ditemui dalam rangka mencari
alat bukti misalnya melakukan penyiksaan, manipulasi dan lainnya. “Harus
ada pembenahan sistem peradilan pidana yang terintegrasi dari sistem
penyidikan (dalam perolehan alat bukti) dan dilengkapi dengan mekanisme
pengawasan internal dan eksternal,” ujarnya.
Terkait proses pasca putusan bebas, seperti yang terjadi dalam kasus
Marwan, Mayong melihat mekanisme yang ada belum mampu mengakomodasi rasa
keadilan masyarakat atau korban. Pasalnya, korban yang harus aktif
menuntut adanya rehabilitasi. Seharusnya ketika hakim memutus bebas dan
memerintahkan negara untuk merehabilitasi, maka negara harus memiliki
mekanisme yang serta-merta memberikan hal tersebut untuk korban.
Menurut Mayong, para korban kasus salah tangkap atau kriminalisasi
sudah mengalami trauma, sehingga jika dituntut untuk mengajukan proses
hukum untuk mendapatkan rehabilitasi dan ganti rugi maka trauma itu akan
muncul kembali. Sehingga korban berpotensi besar enggan untuk
mengajukan mekanisme hukum tersebut dan tidak mendapatkan ganti rugi
serta rehabilitasi. “Harusnya ada perbaikan mengenai rehabilitasi dan
ganti rugi, baik itu dalam KUHAP ataupun peraturan lainnya,” pungkasnya. HKO