Bagi sebagian orang, memasuki bulan suci Ramadhan mungkin menjadi sesuatu yang menakutkan. Pasalnya, keberkahan bulan ini sering terganggu dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang berpotensi memicu inflasi tinggi. Hal ini diperparah dengan ulah para oknum pedagang dan spekulan yang menimbun barang demi meraup untung besar dari lonjakan harga.
Hal itu dikatakan anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel, Kamis (19/7).
Menurut Kemal, kenaikan harga kebutuhan pokok sering dipicu oleh sedikitnya pasokan di saat permintaan konsumen meningkat tajam pada momen tertentu seperti bulan puasa dan Lebaran. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. “Parahnya lagi ada oknum pedagang dan spekulan yang sengaja menimbun barang demi mendapatkan untung yang besar,” katanya.
Atas dasar itu, Kemal meminta pemerintah proaktif mengendalikan kenaikan harga bahan pokok. Menurutnya, pemerintah harus belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya untuk mendapatkan solusi yang tepat agar kenaikan harga menjelang Ramadhan tidak terus terulang.
Kemal mengakui pemerintah telah melakukan kebijakan stabilisasi distribusi, operasi pasar, dan pengadaan stok barang. Namun, katanya, pemerintah juga harus lebih aktif memastikan ketersediaan stok barang kebutuhan pokok yang selama ini menjadi poin paling krusial. “Pemerintah juga mesti memperluas dan memperkuat keberadaan tim pengendali inflasi di daerah,” tuturnya.
Anggota Komisi IV DPR Ma’Mur Hasanuddin menambahkan, melonjaknya harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan membuktikan tidak efektifnya tata niaga pangan dan sistem proteksi konsumen oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah alpa untuk menindak tegas pedagang yang melakukan spekulasi harga dan menimbun sejumlah kebutuhan pokok.
Hasanuddin mengakui kenaikan harga bahan pokok biasa terjadi menjelang Ramadhan. Tapi tahun ini kenaikannya terjadi hampir sejak satu bulan sebelumnya. “Artinya para spekulan memanfaatkan psikologi konsumen yang disebabkan rapuhnya tata niaga pangan pemerintah selama ini,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mengatakan bahwa stok sembako selama bulan Ramadhan hingga Lebaran terbilang cukup. Dia mengimbau masyarakat tidak panik karena kenaikan harga hanya disebabkan lonjakan permintaan dan gangguan distribusi.
Namun, Ma'mur tidak setuju dengan pernyataan Mendag. Menurutnya, kenaikan harga di tingkat pedagang lebih disebabkan efek berantai dari spekulasi yang dilakukan agen dan distributor. “Ketersediaan pangan saja tidak cukup kalau konsumen tidak mampu menjangkau harganya,” katanya.
Lebih jauh, ia meminta pemerintah cepat menuntaskan masalah ini dengan menindak para spekulan nakal. Dia juga mengingatkan kepada pemerintah untuk menjaga kualitas bahan kebutuhan pokok yang ada di pasaran. Apalagi, katanya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, banyak produk pangan yang beredar di pasaran ternyata sudah kadaluarsa.
“Temuan ini sebagian besar terjadi di daerah yang minim fasilitas distribusi pangan seperti Jayapura, Ambon, dan Kupang,” katanya.
Sebelumnya, Koordinator YLKI Sudaryatmo berpendapat pemerintah seharusnya membuat regulasi untuk menahan dan menentukan harga pasar. Hal itu seperti dilakukan oleh banyak negara tetangga yang menerapkan penentuan harga melalui regulasi, sehingga pemerintah dapat lebih bertanggung jawab terhadap harga sembako terutama ketika akan memasuki hari-hari besar keagamaan.
"Dengan kondisi yang seperti sekarang, posisi konsumen menjadi lemah dengan gejolak di pasar global," tuturnya.
Dia juga menjelaskan bahwa persoalan ini juga disebabkan oleh buruknya struktur pasar domestik di Indonesia. Adanya pasokan supply dan demand yang distortif mengakibatkan harga pasar dengan mudah dimainkan oleh pelaku usaha atau pedagang. Akibatnya, pasar dapat dikuasai dengan mudah oleh segelintir orang.
"Untuk itu, perlu regulasi penentuan harga pasar untuk menindaklanjuti perihal ini," pungkasnya.