Banyuwangi-PT Indo Multi Niaga (IMN) mendapat hak eksplorasi tambang emas di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi sejak 2007. Sejauh ini bisa saja tidak memiliki konflik sosial ekonomi dengan masyarakat setempat. Setidaknya, saya tidak menangkap kesan adanya ketegangan antara masyarakat setempat dengan perusahaan saat berkunjung ke 'jantung' proyek penambangan di Desa Sumberagung, Sabtu (3/3/2012) lalu. Namun bukan berarti bayang-bayang persoalan lantas hengkang.
Ada tiga persoalan yang masih harus dihadapi PT IMN. Pertama, meyakinkan publik bahwa kelak proses eksploitasi tambang emas tidak berdampak serius pada lingkungan. Kedua, persinggungan dan hubungan dengan penambang liar. Ketiga, hubungan dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang meminta adanya bagi hasil (saham golden share).
Selama ini, secara umum, publik memahami bahwa dibutuhkan merkuri dan sianida untuk mengambil emas dari bebatuan. Dalam buku berjudul 'Petaka Pembuangan Limbah Tailing ke Laut' yang diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dari 100 ton batuan, hanya 3 persen yang diambil untuk diproses lebih lanjut guna mendapatkan kandungan emas. Sementara 97 persen sisanya dibuang sebagai limbag tailing tambang.
"Pengolahan limbah tailing agar aman membutuhkan biaya yang sangat besar. Itulah sebabnya mengapa banyak perusahaan yang kemudian membuang limbahnya ke daerah sungai, sumber air seperti danau, atau sekadar kolam penampung," demikian dilansir Jatam.
Kekhawatiran ini ditepis oleh Manajer Community Relation and Development PT IMN, Pramono Triwahyudi. "Sampai saat ini kami baru melakukan eksplorasi, dan belum memasuki tahap eksploitasi," katanya.
Dalam tahap eksplorasi, tidak ada penggunaan merkuri. Limbah ceceran minyak (B3) yang berasal dari area pemboran ditampung di tempat tersendiri. Limbah B3 ini lantas dikirim ke pengelola di Sidoarjo. "Kami juga memakai drill malt, pelicin mata bor berbahan batu kwarsa," kata Pramono.
"Namun pada saatnya nanti, sesuai feasibility study, kami tak akan menggunakan merkuri dalam eksploitasi. Penggunaan merkuri sudah dilarang oleh peraturan. Kami belum menentukan teknologi eksploitasi, karena memang belum melakukannya," kata Pramono.
Jika semua proses lancar, eksploitasi baru akan dilaksanakan tahun 2015. Itu pun masih harus memperhatikan pertimbangan teknikal eksplorasi, pengelolaan dampak lingkungan, pengelolaan dampak sosial, financial feasibility, dan administratif perijinan.
Saat ini ancaman pencemaran merkuri berasal dari penambang tradisional. PT IMN pernah meneliti air Sungai Gonggo, Ringin Agung, Gumuk Gendruwo, dan Lompongan untuk mengetahui kadar merkuri di sana. Ternyata kadar merkuri ditemukan dari lumpur.
Di Sungai Gumuk Gendruwo, terkandung 231 gram per kilogram kering lumpur. Masih ada perdebatan tentang ambang normal merkuri di lumpur. Namun yang jelas, merkuri itu berada di lokasi penambangan rakyat. Hasil penelitian tersebut akan menjadi data basis bagi PT IMN sebelum penambangan dilakukan.
Ada 17 titik persinggungan dengan penambang tradisional di Gunung Manis, yang masuk dalam wilayah kuasa pertambangan PT IMN saat ini. PT IMN menyatakan, melarang atau mengijinkan para penambang bukanlah wewenang perusahaan tersebut.
Jumlah penambang tradisional di Desa Sumberagung mencapai 400 orang. Selama ini, mereka tak mengantungi ijin penambangan. Bahkan, di beberapa sudut desa, ada spanduk larangan penambangan liar dari Perhutani. PT IMN sendiri mendapat ijinkan dari Kementerian Kehutanan untuk mengeksplorasi tambang di wilayah hutan lindung.
Bondan Winarno dalam buku 'Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi', menyebut, penambang liar disebut dengan istilah PETI (Penambangan Emas Tanpa Ijin). PETI seringkali beroperasi di kawasan yang secara hukum dimiliki pihak lain (baik kuasa pertambangan maupun kontrak karya).
"Penambang liar tidak mendatangkan retribusi kepada pemerintah daerah maupun pajak kepada pemerintah pusat, serta sebetulnya merupakan eksploitasi rakyat oleh para cukong..." tulis Bondan.
"Kedua, PETI didukung oleh pemodal cukup kuat, sehingga untuk mengamankan pengoperasiannya sering melibatkan pejabat dan unsur keamanan. PETI juga telah terbukti menimbulkan masalah lingkungan yang cukup parah. Para penambang tak segan-segan memakai air raksa untuk "menangkap" emas, sehingga sungai pun tercemar. Penggunaan pompa-popma pasir juga telah mengakibatkan erosi pada dinding-dinding sungai," masih menurut Bondan.
Bondan mengingatkan, PETI berpotensi memberikan ancaman kepada operator resmi. Razia aparat kepolisian terhadap mereka bisa berakibat pada aksi balas dendam kepada operator resmi yang dianggap mendalangi razia tersebut.
Namun, PT IMN siap bermitra untuk melakukan pembinaan kepada penambang tradisional, selama memang ada pengesahan eksistensi mereka dari pemerintah daerah setempat. "Kami bisa saja memberikan bimbingan tentang penambangan emas dengan bahan tak berbahaya secara sederhana," kata Pramono.BJ/Oryza A. Wirawan
Ada tiga persoalan yang masih harus dihadapi PT IMN. Pertama, meyakinkan publik bahwa kelak proses eksploitasi tambang emas tidak berdampak serius pada lingkungan. Kedua, persinggungan dan hubungan dengan penambang liar. Ketiga, hubungan dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang meminta adanya bagi hasil (saham golden share).
Selama ini, secara umum, publik memahami bahwa dibutuhkan merkuri dan sianida untuk mengambil emas dari bebatuan. Dalam buku berjudul 'Petaka Pembuangan Limbah Tailing ke Laut' yang diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dari 100 ton batuan, hanya 3 persen yang diambil untuk diproses lebih lanjut guna mendapatkan kandungan emas. Sementara 97 persen sisanya dibuang sebagai limbag tailing tambang.
"Pengolahan limbah tailing agar aman membutuhkan biaya yang sangat besar. Itulah sebabnya mengapa banyak perusahaan yang kemudian membuang limbahnya ke daerah sungai, sumber air seperti danau, atau sekadar kolam penampung," demikian dilansir Jatam.
Kekhawatiran ini ditepis oleh Manajer Community Relation and Development PT IMN, Pramono Triwahyudi. "Sampai saat ini kami baru melakukan eksplorasi, dan belum memasuki tahap eksploitasi," katanya.
Dalam tahap eksplorasi, tidak ada penggunaan merkuri. Limbah ceceran minyak (B3) yang berasal dari area pemboran ditampung di tempat tersendiri. Limbah B3 ini lantas dikirim ke pengelola di Sidoarjo. "Kami juga memakai drill malt, pelicin mata bor berbahan batu kwarsa," kata Pramono.
"Namun pada saatnya nanti, sesuai feasibility study, kami tak akan menggunakan merkuri dalam eksploitasi. Penggunaan merkuri sudah dilarang oleh peraturan. Kami belum menentukan teknologi eksploitasi, karena memang belum melakukannya," kata Pramono.
Jika semua proses lancar, eksploitasi baru akan dilaksanakan tahun 2015. Itu pun masih harus memperhatikan pertimbangan teknikal eksplorasi, pengelolaan dampak lingkungan, pengelolaan dampak sosial, financial feasibility, dan administratif perijinan.
Saat ini ancaman pencemaran merkuri berasal dari penambang tradisional. PT IMN pernah meneliti air Sungai Gonggo, Ringin Agung, Gumuk Gendruwo, dan Lompongan untuk mengetahui kadar merkuri di sana. Ternyata kadar merkuri ditemukan dari lumpur.
Di Sungai Gumuk Gendruwo, terkandung 231 gram per kilogram kering lumpur. Masih ada perdebatan tentang ambang normal merkuri di lumpur. Namun yang jelas, merkuri itu berada di lokasi penambangan rakyat. Hasil penelitian tersebut akan menjadi data basis bagi PT IMN sebelum penambangan dilakukan.
Ada 17 titik persinggungan dengan penambang tradisional di Gunung Manis, yang masuk dalam wilayah kuasa pertambangan PT IMN saat ini. PT IMN menyatakan, melarang atau mengijinkan para penambang bukanlah wewenang perusahaan tersebut.
Jumlah penambang tradisional di Desa Sumberagung mencapai 400 orang. Selama ini, mereka tak mengantungi ijin penambangan. Bahkan, di beberapa sudut desa, ada spanduk larangan penambangan liar dari Perhutani. PT IMN sendiri mendapat ijinkan dari Kementerian Kehutanan untuk mengeksplorasi tambang di wilayah hutan lindung.
Bondan Winarno dalam buku 'Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi', menyebut, penambang liar disebut dengan istilah PETI (Penambangan Emas Tanpa Ijin). PETI seringkali beroperasi di kawasan yang secara hukum dimiliki pihak lain (baik kuasa pertambangan maupun kontrak karya).
"Penambang liar tidak mendatangkan retribusi kepada pemerintah daerah maupun pajak kepada pemerintah pusat, serta sebetulnya merupakan eksploitasi rakyat oleh para cukong..." tulis Bondan.
"Kedua, PETI didukung oleh pemodal cukup kuat, sehingga untuk mengamankan pengoperasiannya sering melibatkan pejabat dan unsur keamanan. PETI juga telah terbukti menimbulkan masalah lingkungan yang cukup parah. Para penambang tak segan-segan memakai air raksa untuk "menangkap" emas, sehingga sungai pun tercemar. Penggunaan pompa-popma pasir juga telah mengakibatkan erosi pada dinding-dinding sungai," masih menurut Bondan.
Bondan mengingatkan, PETI berpotensi memberikan ancaman kepada operator resmi. Razia aparat kepolisian terhadap mereka bisa berakibat pada aksi balas dendam kepada operator resmi yang dianggap mendalangi razia tersebut.
Namun, PT IMN siap bermitra untuk melakukan pembinaan kepada penambang tradisional, selama memang ada pengesahan eksistensi mereka dari pemerintah daerah setempat. "Kami bisa saja memberikan bimbingan tentang penambangan emas dengan bahan tak berbahaya secara sederhana," kata Pramono.BJ/Oryza A. Wirawan