![]() |
Umar Patek |
Jakarta-Akhirnya, Convention ASEAN on Counter Terorism atau Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme disetujui oleh Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Konvensi yang ditandatangani pada 2006 ini selangkah lagi akan menjadi undang-undang bila mendapat persetujuan seluruh anggota dewan dalam rapat paripurna DPR. Proses ratifikasi tak akan menemui hambatan karena mayoritas fraksi di DPR sudah menyatakan persetujuannya.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan konvensi ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk memberantas terorisme bersama-sama dengan negara di kawasan ASEAN. “Konvensi ini memperkuat Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik dan perjanjian ekstradisi. Dengan ratifikasi konvensi ini maka akan tercipta sistem dan kerja sama di negara kawasan,” ujarnya di ruang rapat Komisi I, Kamis (8/3).
“Kita akan memperoleh dukungan dan kapasitas penegak hukum dari negara ASEAN yang lain,” tuturnya.
Marty menjelaskan ada beberapa poin tambahan yang penting dalam Konvensi ini untuk membantu Indonesia –dan negara ASEAN lainnya- dalam memberantas terorisme. Pertama, konvensi ini memperkenalkan program rehabilitasi bagi para pelaku terorisme yang sudah menjalani hukuman. “Tujuannya agar mereka bisa diterima kembali oleh masyarakat dan tak mengulangi lagi perbuatannya,” jelas Marty.
Kedua, konvensi ini memberikan jaminan perlakuan yang adil bagi tersangka terorisme dan menghormati hak asasi manusia. “Pemberantasan terorisme juga harus menghormati HAM,” ujarnya. Ketiga, konvensi ini juga memberikan penghormatan prinsip kedaulatan teritorial negara lain.
Juru bicara Fraksi PDIP Helmi Fauzi memberi catatan agar implementasi konvensi ini ke depan harus berujung ke pencegahan dan penindakan terorisme dengan cara dan perangkat yang baik dan benar. Ia mengatakan bahwa pemberantasan terorisme harus menjamin kebebasan individu di satu sisi dan keamanan di sisi lain.
“Kebebasan dan keamanan individu adalah hak fundamental. Pemberantasan terorisme harus melindungi serempak antara kebebasan dan keamanan warga negara,” ujar Helmi.
Sebagai informasi, Konvensi ini sudah ditandatangani oleh 10 negara ASEAN. Dari 10 negara itu, enam negara sudah meratifikasi konvensi menjadi UU, sedangkan empat negara belum meratifikasi. Empat negara itu adalah Laos, Myanmar, Indonesia dan Malaysia.
Anggota Komisi I dari PAN Teguh Juwarno mempertanyakan mengapa Malaysia belum meratifikasi konvensi ini. “Secara kultural dan sosial kemasyarakatankita hampir sama dengan mereka. Pemikiran dari adanya konvensi ini bahwa pasca peristiwa 11 September, label teroris sering disematkan ke sekelompok umat Islam,” ujarnya.
Teguh menilai karena Indonesia dan Malaysia mayoritas penduduknya adalah agama Islam maka sikap Malaysia ini perlu dibahas bersama. “Jadi, relevan bagi kita untuk membahas ini. Sebenarnya, apakah ini sudah didiskusikan kepada tokoh-tokoh umat Islam di Indonesia?” tanyanya.
Marty mengaku tak memiliki data atau informasi yang valid mengapa Malaysia belum meratifikasi konvensi ini. “Kami akan informasi terlebih dahulu apa alasannya mereka belum meratifikasi,” ujarnya. Ia berharap Malaysia segera mengikuti Indonesia dengan meratifikasi konvensi yang digagas oleh Indonesia ini.
Lebih lanjut, Marty meminta agar tak anggota dewan tak perlu khawatir dengan isu agama dalam konvensi ini. “Justru konvensi yang insya Allah akan kami ratifikasi ini salah satu nilai tambahnya dan ciri yang berbeda dengan konvensi serupa lainnya ada ketegasan bahwa tak ada kaitannya agama tertentu dengan terorisme,” ujarnya.
“Di berbagai forum, tindak pidana terorisme sudah ditegaskan tak ada sangkut paut dengan negara, etnik apalagi agama tertentu,” tegasnya.
Marty menambahkan pihak Kemenlu juga sudah mensosialisasikan konvensi ini sebelum atau sesudah ditandatangani. “Program sosialisasi sudah sejak 2006, bahkan sebelum konvensi ini ditandatangani. Setidaknya sudah 10 kegiatan sosialisasi. Kami sudah bertemu dengan stakeholders dari lintas agama untuk membahas ini,” pungkasnya. hko