Membidik Jejak Prostitusi ABG

Gincunya tidak terlalu tebal. Ia sepertinya baru be-lajar memakai pemerah bibir. Ia berusaha tersenyum sam-bil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, ketika lampu mobil menyorot ke arahnya. Gadis ‘bau kencur’ itu mundur beberapa langkah begitu mobil berhenti di dekatnya. Dan posisinya di-ganti seorang pria. Siapa pria itu. Jangan ter-lalu cemas, itu adalah ‘ne-gosiator’.
Di kawasan yang ter-kenal dengan sebutan ‘segi tiga emas’ Surabaya, yaitu Jl Pemuda, Jl Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh setiap malam pemandangan se-perti itu merupakan hal biasa.
Di kawasan itu, setiap hari mulai pukul 18.00 para ABG (anak baru gede) mulai pasang aksi.
Untuk bisa ‘menggaet’ ABG di Surabaya memang gampang-gampang susah.
Untuk yang memakai mobil pribadi, tidak sulit. Dengan, sekali tekan klakson, mereka akan mendekat dan mena-warkan diri.
Masalah tarif bisa di-bicarakan sambil berjalan, kalau tidak cocok, bisa dikembalikan ke tempat di mana mereka mangkal.
Atau melakukan tawar-menawar melalui ‘nego-siator’ alias germo.
Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki mobil pribadi, dengan taksi saja sudah bisa asalkan jangan berdua. Harus sendiri.
Apa-lagi, memakai se-peda motor, mereka akan menolak secara tegas. Itu yang dialami MS ketika mendekati mereka sambil mengendarai sepeda motor.
Seorang penjual minu-man yang mangkal di Jl Pemuda, langsung mem-peringatkan.
“Kalau mau booking ABG, jangan sekali-kali ada dua pria dalam taksi itu, atau sepeda motor, mereka tidak mau, malah lari,” katanya.
Sumber MS me-nyebutkan,Di ka-wasan itu tariff setiap ABG antara Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu untuk short time,sela-ma tiga jam Selebihnya transaksi dilakukan dengan ABG yang dikencani.
 Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Jl Embong Sawo, tidak jauh dari Jl Pemuda, hanya sekitar 50 meter.
Di tempat ini, tampak dua ABG duduk di atas sepeda motor, sambil meng-hisap rokok. Keduanya, ti-dak langsung mendatangi mobil.
Tapi, germo yang meng-hampiri begitu jendela mobil terbuka. Kalimat pertama yang keluar adalah, “Malam. Cari cewek,” katanya. “Maaf, tinggal dua ABG, lainya sudah di-booking orang.
Tapi, saya jamin tidak rewel. Siap, main dalam bentuk apa pun juga,” ujar-nya setengah memaksa.
Di kawasan Jl Embong Sawo ini tarifnya memang agak sedikit mahal diban-dingkan dengan ABG di Jl Tais Nasution. Yang membe-dakan karena di kawasan itu ABG-nya benar-benar masih ‘bau kencur’. Untuk tiga jam, mereka pasang tarif Rp 200 ribu. Memang, bisa ditawar tapi tetap saja tidak boleh di bawah Rp 150 ribu.
Mereka sebagian besar dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika ditanya, mereka tidak sungkan-sung-kan menyebut nama SLTA tempat mereka se-kolah atau menyebutkan nama perguruan tingginya bagi yang mahasiswi. ‘Kalau Saya Suka, Gratis pun Jadi. Tapi biarpun uangnya satu karung, kalau saya tidak suka, ya saya enggak mau,” katanya.
Ia terjun ke dunia ‘hitam’ bukan hanya karena per-soalan ekonomi. Tapi lebih pada kebebasan dan kepu-asan bergaul dengan banyak orang dari berbagai kala-ngan. Dia percaya betul bah-wa bergaul dengan banyak orang, akan memperoleh segala-galanya. “Kesena-ngan itu adalah segala-galanya. Dan yang paling penting, “Saya bisa senang-senang,” katanya.
Di Surabaya cukup ba-nyak hotel yang sudah di-kenal oleh ABG, antara lain Hotel Pinang Inn (Jl Dinoyo), Hotel Puspa Asri (Jl Ken-jeran), Hotel Malibu (Jl Ngagel), Hotel Pondok Hijau (di kawasan Bukit Darmo Golf Surabaya).
Menurut Hana, teman-temannya sesama ABG tidak pernah takut dengan ganasnya virus AIDS. Me-reka tidak teralu suka jika teman kencannya meng-gunakan kondom.
Hal itu dibenarkan oleh Rika, ABG yang mengaku masih sekolah di kawasan, Jl Arjuno, Surabaya.
Rika selalu menelan an-tibiotik jika, akan berkencan seo-rang pria, siapa pun dia. Selain itu, dirinya juga selalu rajin suntik untuk meng-hindari kehamilan.
“Jualan itu yang penting bukan isinya, tapi kemasan dan modelnya. Saya siap dengan model apa pun. Bah-kan sering kali saya me-ngajarkan tamu tentang gaya-gaya yang belum di-kenal. Biasanya dia puas dan akan mencari saya lagi,” ujarnya.
Hal lain lagi yang ditakuti mereka adalah operasi pe-tugas kepolisian. Untuk me-ngelabui petugas, meraka selalu berpakaian sangat sopan.
Tidak pernah menggu-nakan rok mini atau baju yang menonjolkan bagian dada. ***

INDEKS BERITA