Kewenangan Kejaksaan Perlu Dipangkas

Yusril Ihza Mahendra
Jakarta, MS-Yusril Ihza Mahendra boleh saja me-nyandang status tersangka dalam kasus Korupsi Sis-minbakum yang ditangani oleh Kejaksaan. Namun, ke-ilmuannya yang mumpuni di bidang Hukum Tata Negara (HTN) tak menyurutkan pi-hak lain meminta pendapatnya.
Sementara Badan Legislasi (Baleg) DPR me-minta masukan seputar Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejak-saan), lembaga yang masih memeriksa Yusril dalam kasus korupsi.
Guru Besar HTN Universitas Indonesia ini meminta Baleg mengkaji ulang ke-wenangan penyidikan dan penuntutan yang ada selama ini. Yusril menuturkan ber-dasarkan KUHAP, penegak hukum yang memegang peranan itu sangat jelas. Penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan pe-nuntutan yang dipegang oleh Kejaksaan. “Kita harus kembalikan ke konsep awal ini, ke KUHAP,” tuturnya.
Lebih lanjut, Yusril men-jelaskan dalam sistem hu-kum pidana ada filosofi yang tak boleh dilanggar. Yakni, orang (lembaga) yang ber-wenang menangkap, tidak boleh menahan. Orang (lembaga) yang memeriksa tak boleh menuntut. Dan orang (lembaga) yang me-nuntut tak boleh memu-tuskan. Semua itu harus dilakukan oleh lembaga yang berbeda.
Yusril melihat ini terjadi di Kejaksaan saat ini. Da-lam kasus pidana khusus, seperti korupsi dan pela-nggaran hak asasi manusia (HAM) berat, kejaksaan berwenang melakukan pe-nyidikan dan penuntutan sekaligus. Aturan ini ter-cantum dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejak-saan yang sedang dibahas untuk direvisi ini. “Di Jam-pidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Kejagung, ada Direktur Penyidikan dan Direktur Penuntutan. Orang-nya itu-itu saja,” tuturnya.
“Apa ini mau diakhiri- atau tidak? Saya sudah katakan filosofinya tadi. Supaya ada saling kontrol dan mencegah abuse of power,” ujarnya seraya menyerahkan sepenuhnya ke Baleg DPR. 
Anggota Baleg dari PPP Ahmad Yani setuju dengan filosofi yang diutarakan Yusril ini. Menurutnya, mengga-bungkan dua fungsi (penyi-dikan dan penuntutan) da-lam satu lembaga sekaligus berpotensi merusak sistem hukum Indonesia. Meski sedang membahas RUU Kejaksaan, Yani menggu-nakan filosofi ini untuk Ko-misi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“KPK juga melakukan penyidikan, penuntutan dan bahkan buat pengadilan sendiri. Itu bukan lagi pe-radilan tapi lembaga peng-hukuman. Ini harus dilu-ruskan. Jadi, revisi UU Ke-jaksaan ini jangan parsial. Ada kaitannya juga dengan KUHAP, UU KPK dll,” ujarnya.
Sekadar mengingatkan, usulan agar Kejaksaan tak lagi menyidik perkara korupsi sebenarnya sudah dilon-tarkan pada awal-awal pem-bahasan revisi UU Kejak-saan ini. Kabareskrim Ma-bes Polri Ito Sumardi, yang dimintai komentarnya me-ngenai hal ini mengaku setuju dan siap bila ke-wenangan penyidikan kasus korupsi ini diserahkan se-penuhnya ke Polri.

Jaksa Agung Abadi
Yusril juga meminta Baleg merevisi persyaratan pemberhentian dengan hor-mat oleh presiden jaba-tan seorang jaksa agung. Saat ini ketentuan itu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan yang menya-takan “Jaksa Agung diber-hentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri; c. Sakit jasmani; d. Berakhir masa jabatannya; e. Tidak lagi memenuhi sa-lah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 (rangkap jabatan)”.
Bila mengacu ketentuan ini, lanjut Yusril, seseorang bisa menjabat sebagai jaksa agung seumur hidup. Apa-lagi, dalam UU Kejaksaan sekarang, tak ada satu pasal pun yang mengatur berapa lama masa jabatan jaksa agung.
“Jadi, sebenarnya bila Hendarman menolak diber-hentikan oleh presiden, dia bisa menggugat SK Pem-berhentiannya ke PTUN. Karena sampai saat ini, dia belum masuk syarat bisa diberhentikan dengan hor-mat. Dia masih hidup dan tidak sakit, tak ada per-mintaan sendiri dan tak melakukan rangkap jabatan,” pungkasnya.lason

INDEKS BERITA