Titik Nadir Citra Peradilan

Penghinaan Terha-dap Pengadilan Sudah Mengkhawatirkan Aksi penghinaan terhadap pengadilan terus terjadi, bahkan menuju tahap yang mengkhawatirkan. Sebab, penghinaan bukan lagi semata tindakan verbal di pengadilan, melainkan sudah mengarah pada aksi kekerasan di dalam ruang sidang.
Sa-saran pun bukan lagi properti pengadilan, melainkan juga majelis hakim.
Aksi terbaru yang terekam adalah perusakan gedung Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah, pada 8 Februari lalu. Hasil riset Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menunjukkan sejak 2005 hingga sekarang, penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court bukan lagi terjadi di luar ruang sidang. “Kekerasan justru banyak terjadi di ruang-ruang sidang pengadilan,” kata Firmansyah Arifin, Ketua Badan Pengurus KRHN.
KRHN mencatat sejak September 2005 hingga 8 Februari 2011 terjadi tidak kurang dari 30 kali aksi penghinaan terhadap pengadilan. Sebagian diantaranya berupa tindakan kekerasan di ruang sidang. Riset KRHN itu dimulai dari kasus terbunuhnya M. Taufiq, hakim Pengadilan Agama Sidoarjo. Taufiq tewas setelah ditikam Kolonel (AL) M. Irfan saat sang hakim mengadili perkara rebutan harta gono gini antara Irfan dengan mantan isterinya. Pada 29 Oktober 2010 lalu, sejumlah pengunjung sidang memukuli hakim PN Ende Nusa Tenggara Timur, Ronald Masang, karena menuduh sang hakim melindungi tersangka. Keluarga korban meminta terdakwa dilepas agar dihakimi sendiri.
Sepanjang Januari dan Februari 2011 ini saja tercatat tiga kali aksi penghinaan terhadap pengadilan. Selain kasus PN Temanggung, pada Januari lalu massa mengejar jaksa dan saksi di PN Cibinong. Di PN Pare-Pare Sulawesi Selatan, malah anggota majelis hakim terpaksa lari menyelamatkan diri gara-gara aksi kekerasan yang dilakukan keluarga korban kasus pembunuhan. “Kasus-kasus seperti ini tak bisa dibenarkan,” ujar Firman.
Selain mengarah ke ruang sidang, hasil riset KRHN menunjukkan tindakan penghinaan terhadap pengadilan tidak terbatas pada kasus-kasus yang menarik perhatian publik atau mengundang massa yang banyak. “Juga terjadi pada saat sidang kejahatan biasa, bahkan perkara privat,” jelas Firmansyah.
Sebut misalnya kasus perceraian di Pengadilan Negeri Wonosari. Terdakwa mengirimkan surat ancaman terhadap hakim dan pegawai Pengadilan Agama Wonosari gara-gara Pengadilan Agama membatalkan putusan cerai dari isterinya. Pengadilan Negeri Wonosari akhirnya menghukum terdakwa satu tahun gara-gara ancaman pembunuhan terhadap hakim dan pengawai Pengadilan Agama.
Sehubungan dengan banyaknya kasus penghinaan terhadap pengadilan, KRHN meminta agar negara memberikan jaminan yang kuat dan komprehensif bagi perlindungan dan keamanan pengadilan. Jika dipandang perlu, Pemerintah dan DPR perlu menyusun Undang-Undang Contempt of Court yang komprehensif.
KUH Pidana sebenarnya mengandung pasal yang bisa menjerat setiap orang yang menghina pengadilan. Misalnya pasal 217 yang mengancam siapapun yang menimbulkan kegaduhan di ruang sidang. Tetapi menurut Firmansyah, KUH Pidana belum cukup mengakomodir semua jenis penghinaan terhadap pengadilan yang ada sekarang. Aksi kekerasan seperti pemukulan pengunjung terhadap terdakwa perlu dipandang sebagai bentuk penghinaan terhadap pengadilan. Dengan demikian, cakupan contempt of court perlu diperluas. “Bagaimanapun, fenomena penghinaan terhadap pengadilan harus segera dihentikan, atau dieliminasi,” ujarnya.

Koodinasi KY-MA-Polri
Hasil riset tersebut telah disampaikan KRHN ke Komisi Yudisial dengan harapan Komisi ini bisa proaktif mengkoordinasikan proses evaluasi pengamanan di pengadilan. Koordinasi dilakukan dengan Mahkamah Agung dan Polri. “MA dan KY perlu melakukan pembinaan dan pengawasan secara intensif dan efektif untuk meningkatkan kewibawaan dan kehormatan hakim melalui putusan-putusannya,” harap Firman.
Komisioner Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, sependapat dengan Firmansyah, bahwa penghinaan terhadap pengadilan tidak dapat dibenarkan dan harus dicegah. Apalagi kalau sudah berbentuk kekerasan. “Kekerasan di ruang sidang pengadilan adalah masalah serius,” tegas komisioner berlatar belakang akademisi ini.
Komisi Yudisial, lanjut Suparman, menyambut baik gagasan KRHN untuk memperkuat basis hukum dan upaya pengamanan pengadilan. Sebagai langkah jangka pendek, Komisi Yudisial akan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dan Mabes Polri. Para pihak perlu duduk bersama untuk membahas cara-cara yang bisa ditempuh mencegah penghinaan terhadap pengadilan. Intinya bagaimana memproteksi proses persidangan yang sedang berlangsung. “KY akan coba inisiasi proteksi terhadap proses peradilan,” ujarnya. (fahmi)

INDEKS BERITA