Jakarta, MS-Dalam hitungan hari menjabat, ia sudah dihadapkan pada kasus kepergian Gayus Halomoan Tambunan ke Bali. Petugas Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kelapa Dua Depok membiarkan Gayus keluar sel dengan imbalan uang ratusan juta rupiah. Gara-gara kasus ini, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum termasuk polisi kembali ke titik nadir.
Itu baru satu kasus. Masih banyak pekerjaan rumah kepolisian yang belum kelar. Perilaku oknum polisi di lapangan terus menjadi noktah bagi reformasi institusi kepolisian yang sudah digagas sejak 1999. Sebagai orang nomor satu di kepolisian, Jenderal Timur Pradopo mencoba bersikap tegas. Sembilan petugas Rutan Mako Brimob yang lalai menjaga Gayus dicopot dan dinyatakan sebagai tersangka. Ia juga berjanji dalam waktu 10 hari berkas pemeriksaan kesembilan oknum polisi itu rampung.
Di bidang lalu lintas, Timur juga mencoba mengubah pendekatan. Dalam Rapat Koordinasi Lalu Lintas (Rakorlantas) se-Indonesia, 18 November lalu, Kapolri menegaskan agar anggota lantas mengedepankan aspek pencegahan, imbauan, dan teguran ketimbang law enforcement. Tindakan hukum sebaiknya dilakukan jika pelanggaran lalu lintas bersifat esensial menyebabkan kemacetan atau kecelakaan.
Perubahan paradigma dan pendekatan dilakukan di bidang lain. Di kampus Universitas Indonesia pekan lalu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, I Ketut Untung Yoga, menjelaskan ihwal reformasi yang kini gencar dilakukan kepolisian. Buku Biru Kepolisian telah memuat strategi besar reformasi Polri hingga 2025 mendatang. Kepercayaan masyarakat merupakan salah satu yang hendak dicapai. Menurut Ketut Untung Yoga, reformasi tak hanya berkutat pada struktur dan instrumen, tetapi juga kultur alias budaya dan mindset.
Akademisi Universitas Padjadjaran Bandung, Yesmil Anwar, berpendapat budaya buruk sudah mengakar pada sejumlah oknum kepolisian. Pelanggaran hukum seperti mengizinkan Gayus keluar rutan dengan imbalan uang dianggap sebagai perbuatan yang wajar. Kondisi itu makin diperparah karena pengawasan dari luar diri oknum polisi tidak jalan sebagaimana mestinya. “Kultur sosialnya sudah lemah. Inner controlnya dari polisi sendiri, dan external control dari lembaga, kurang,” kata Yesmil.
Ketut Untung Yoga tak menampik sinyalemen Yesmil. Mantan Kapolres Tangerang ini mengakui mengubah kultur merupakan salah satu yang tersulit dalam rangka reformasi kepolisian. Sebab, kultur melanggar hukum sangat tergantung moral dan mentalitas masing-masing anggota kepolisian. “Tidak dipungkiri, banyak anggota kepolisian yang kerap menganiaya, menyiksa sehingga tahanan mati, merekayasa BAP, dan menerima suap,” ujarnya.
Hasil Riset
Banyak faktor yang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Survei opini publik yang dilaksanakan Lembaga Survei Indonesia (LSI) 10-12 Oktober lalu misalnya menunjukkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dinilai publik memiliki nilai integritas yang buruk. Kepolisian dianggap masyarakat tidak mampu mencegah aparatnya dari tindakan korupsi dan dari tekanan atau suap oleh kelompok kepentingan dalam masyarakat. Dibanding kejaksaan dan pengadilan, kepolisian mendapat nilai terburuk dari sisi integritas. “Berdasarkan penilaian publik, hanya KPK yang aparatnya dinilai punya integritas,” papar Burhanuddin Muhtadi, peneliti LSI.
Survei Integritas Publik 2010 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan hasil serupa. Mengambil sampel di 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertikal, dan 22 pemerintah kota, jajak pendapat KPK menemukan bahwa pelayanan di kepolisian dan Kementerian Hukum dan HAM masih buruk. Layanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dianggap layanan kepolisian yang rentan korupsi. Jika mendapat skors rendah, berarti pemberian layanan publik masih diwarnai korupsi. “Suap menyuap kecil-kecilan,” kata komisioner KPK, M. Jasin, saat merilis hasil survei itu 1 November lalu.
Komisi Hukum Nasional (KHN) juga melakukan penelitian khusus dalam bentuk “Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Reformasi Kepolisian”. KHN menyimpulkan reformasi kepolisian yang sudah berlangsung sejak 1999 belum dirasakan secara signifikan oleh masyarakat. Laporan pengaduan yang diteliti KHN menunjukkan layanan bagian reserse paling banyak dikeluhkan masyarakat. Mengambil metode penelitian yuridis empiris, KHN juga menyimpulkan kepolisian mengalami krisis kepemimpinan. Sulit mencari pemimpin kepolisian yang mumpuni.
Toh, tak semua hasil penelitian atau jajak pendapat memberi persepsi buruk terhadap kepolisian. Riset yang dilakukan Markplus Insight dengan melibatkan 1.800 orang dari lingkungan 14 Polda menyimpulkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan Polri sudah mencapai 54,33 persen. Layanan reserse dan divisi lalu lintas memang memiliki prosentase lebih rendah dibanding pelayanan bidang samapta dan regident.
Tengok pula hasil penelitian yang dilakukan Staf Ahli Kapolri bekerjasama dengan Biro Litbang dan Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 17-22 Januari 2010. Dengan responden sebanyak 10.400 orang yang tersebar di wilayah 9 Polda, riset tersebut menunjukkan persepsi positif masyarakat terhadap layanan polisi. Nilai rata-rata transparansi pelayanan Polri kepada masyarakat sudah mencapai 57,11 persen. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan Polri malah sudah mencapai 66,58 persen. Pelayanan reserse kriminal dan lalu lintas lagi-lagi mendapat skor terendah dibanding Intelkam, Samapta, dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Grand Strategy
Berbicara dalam diskusi KHN, mantan Inspektur Jenderal (Irjen) Mabes Polri, Ahwil Lutan, tak menampik beragamnya pandangan masyarakat terhadap reformasi. Menurut dia, ekspektasi masyarakat begitu besar terhadap hasil reformasi kepolisian. Sementara kepolisian menginginkan reformasi berjalan gradual dan bertahap. Akibatnya, ada gap antara ekspektasi dengan pelaksanaan di lapangan.
Reformasi Polri tetap merujuk pada Grand Strategy 2005-2025. Pada lima tahun pertama, Polri berusaha melakukan berbagai hal untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat (trust building). Periode 2011-2015 Polri menekankan pada kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka penegakan hukum, ketertiban, serta pelayanan, perlindungan, dan pengayoman untuk menciptakan rasa aman. Barulah pada periode ketiga, 2016-2025 Polri membangun pelayanan publik yang prima.
Reformasi jangka panjang bukan saja bertujuan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Menurut Ahwil Lutan, reformasi ke dalam institusi kepolisian berusaha melahirkan polisi yang profesional, bermoral, modern, dan dipercaya masyarakat.
Membangun kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian memang tak bisa dipisahkan dengan lembaga penegak hukum lain. Sebab, acapkali persepsi negatif masyarakat mengerucut pada keterlibatan polisi dalam proses penegakan hukum. Misalnya mulai dari kasus rekayasa BAP kasus narkoba hingga keterlibatan M. Arafat Enanie dan Sri Sumartini –dua aparat penyidik pada Bareskrim dalam merekayasa kasus Gayus.
Komisi Hukum Nasional mencatat respons kepolisian dengan membuat sejumlah aturan internal untuk menghindari penyimpangan baru tampak dalam dua tahun terakhir (lihat tabel). Struktur polisi pun mulai diubah sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2010. Tetapi tetap saja, peraturan dan perubahan struktur itu tak akan menjamin kultur masing-masing anggota polisi berubah.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Novel Ali yakin jika seluruh anggota polisi sungguh-sungguh menerapkan beleid Kapolri tersebut, kepercayaan masyarakat lambat laun akan tumbuh. Cuma, hal itu harus diimbangi langkah Polri menyaring sumber daya manusia melalui sistem dan persyaratan yang ketat. Sistem penerimaan yang kolutif harus dikikis habis. Dan yang tak kalah pentingnya, penegakan hukum terhadap anggota yang bersalah. (tim)