Jakarta-Lama dinanti, peraturan turunan dari UU No 32 Tahun 2009 akhirnya diterbitkan. Namun, penggiat lingkungan hidup menilai peraturan turunan itu bukan yang dibutuhkan sekarang untuk mengatasi carut marut pengelolaan lingkingan hidup di Indonesia.
Peraturan turunan dari UU Lingkungan Hidup yang dimaksud adalah PP No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. PP ini ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2012.
Menurut catatan, PP Izin Lingkungan adalah satu dari 13 PP yang diamanatkan oleh UU Lingkungan Hidup. Diamanatkan Pasal 126 UU Lingkungan Hidup, peraturan pelaksana harus terbit setahun setelah undang-undang berlaku. Perlu diketahui, UU Lingkungan Hidup ditandatangani Presiden SBY pada 3 Oktober 2009.
Ketiadaan PP ini, diisi dengan sejumlah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Sebut saja, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup.
Namun, terbitnya PP ini ditanggapi dingin oleh penggiat lingkungan hidup. Deputi Direktur Walhi, Ali Akbar yang dihubungi Jumat (9/3) menyatakan, “PP ini bukan agenda penting guna menguatkan UU 32/2009.”
Namun, dia tetap memberi apresiasi, bahwa sudah lahir peraturan operasional dari UU Lingkungan Hidup. “Hanya saja, dari 13 PP yang diamanatkan undang-undang, dua PP yang dinanti kelahiran dan begitu penting adalah mengenai PP analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).”
Kemudian dia menguraikan alasan mengapa kedua PP itu penting ketimbang lainnya. Saat ini pemerintah bingung menata industri ekstraktif berikut dampaknya, apabila ada PP Amdal, maka akan ada pendekatan komprehensif bagi pemerintah. Yaitu, izin operasi perusahaan tambang tak akan keluar apabila kajian Amdal tidak dilakukan perusahaan. Izin operasi juga tak akan keluar apabila kajian Amdal yang dilakukan perusahaan tambang tak diluluskan pemerintah.
“Eksploitasi tambang dan dampaknya sulit ditangani karena pemerintah tidak memiliki ‘cantolan’ hukumnya,” kata Ali Akbar.
Ali Akbar juga menyebutkan mengapa PP KLHS penting saat ini. Dia sampaikan, setidaknya ada tiga poin penting dalam PP KLHS yaitu mengenai tata ruang, kebijakan rencana program, dan rencana program nasional dan daerah.
Oleh sebab itu, menurut Ali Akbar, wajar jika sekarang ini kebijakan tata ruang masih bermasalah. Sebut saja luas hutan di Indonesia disebut sekira 170 juta hektare (ha). Namun, diyakini para penggiat lingkungan hidup, hanya 30 juta ha yang dapat dikategorikan clear and clean.
“Sisanya bagaimana statusnya, kalau disebut kawasan hutan tapi ternyata masih bermasalah,” imbuhnya.
Karena itu, Ali Akbar yakin, kedua PP itu akan menjadi solusi untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Sekaligus, menjadi acuan bagi revisi tentang tata ruang sejumlah daerah yang sudah disahkan pemerintah mengacu pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ali Akbar mengaku tak terkejut kalau pemerintah mendahulukan penerbitan PP 27/2012 ketimbang yang lain. Dia mencurigai adanya kepentingan politik dengan motif tertentu dari pemerintah menunda menerbitkan kedua PP penting tersebut.
Dia menyebutkan, Walhi diundang dua kali untuk pembahasan kedua RPP penting itu. Dia ketahui pula pembahasan kedua RPP sudah selesai. Bahkan, lanjutnya, RPP KLHS lebih maju dan sudah ada di Sekretariat Negara. "Sepertinya macet di sana," ungkap Ali Akbar.
Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada pihak Kementerian Lingkungan Hidup, Humas KLH Dida Gardera menyatakan pihaknya tengah menyiapkan sosialisasi pada wartawan mengenai PP ini. “Atau hubungi Biro Hukum KLH, Bu Irna,” ujarnya ketika dihubungi Jumat (9/3) sambil memberikan nomor handphone yang bersangkutan.
Sayangnya, ketika dihubungi, pejabat biro hukum KLH itu tak mau mengangkat dan pesan singkat melalui short message service (sms), juga tak dibalas.hko