Jakarta-Kebebasan pers adalah salah satu buah reformasi 1998 ditandai dengan diterbitkannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sayangnya, kebebasan pers itu tak dibarengi dengan kebebasan berserikat di industri media. Kondisi ini diperparah dengan minimnya antusiasme insan pers untuk berserikat. Padahal keberadaan serikat pekerja di perusahaan media memiliki peran dan fungsi yang sangat penting, bukan hanya untuk pekerja dan perusahaan tapi juga masyarakat.
Ada banyak sebab yang menjadi alasan kenapa serikat pekerja di industri media jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan pertumbuhan perusahan media. Selain faktor kesadaran pekerja media yang minim untuk berserikat, ada juga yang berpandangan perusahaan media cenderung anti serikat pekerja. Atau malah yang terjadi saat ini adalah kombinasi keduanya.
“Dari ribuan industri media, hanya terdapat 31 media yang punya serikat pekerja,” ujar Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta Winuranto Adhi dalam sebuah diskusi di Kantor LBH Jakarta, Jumat (9/3).
Menurut Winuranto untuk menyiasati agar serikat pekerja terkesan ‘ramah’ di telinga pihak manajemen sejumlah serikat pekerja menggunakan nama unik. Misalnya forum karyawan, kerukunan karyawan, workerHOLic dan lain sebagainya.
Winuranto menambahkan pertumbuhan serikat pekerja di industri media sangat lambat jika dibandingkan dengan serikat pekerja di sektor industri lain. Bagi Winuranto salah satu penyebabnya adalah pekerja media kurang bersentuhan dengan gerakan buruh sehingga muncul penafsiran di kalangan pekerja media bahwa mereka berbeda dengan pekerja di industri lain.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen Abdul Manan menyebutkan sebuah fakta dari suatu hasil studi yang menunjukan kondisi serikat pekerja di perusahaan media besar kondisinya memprihatinkan. Kepemilikan media di Indonesia dikuasai setidaknya oleh 12 konglomerasi dan di setiap perusahaan media itu terdapat serikat pekerja. Misalnya Vivanews, Trans Corp, kompas, JPNN, TPI dan RCTI serta Tempo. Namun dari 12 konglomerasi itu yang kondisi serikat pekerjanya dan capaiannya cukup baik adalah Tempo. Karena mereka sudah punya perjanjian kerja bersama (PKB).
Dalam menganalisa persoalan kenapa serikat pekerja di industri media jumlahnya sedikit, menurut Abdul hal itu disebabkan oleh kondisi lingkungan industri media berbeda dengan sektor lain. Secara historis perkembangan industri media di Indonesia pada masa awal kemerdekaan belum berorientasi pada profit. Media ketika itu cenderung menjadi corong politik ketimbang perusahaan yang mengeruk laba.
Perubahan itu mulai muncul beberapa tahun setelah Soeharto meraih tampuk kekuasaan. Kemudian ada kebijakan yang melarang media bersinggungan dengan politik. Oleh karenanya perusahaan media mencari cara agar bisa bertahan dan mulailah orientasi terhadap profit diterapkan. Dari situ mulai muncul hubungan ketenagakerjaan dalam industri media.
Sejarah itulah yang kemudian memunculkan pandangan yang menyebut bahwa pekerja media adalah pekerjaan profesional. Kemudian memunculkan mitos bahwa pekerja media tabu untuk mempersoalkan kesejahteraan seperti upah, fasilitas kesehatan dan lainnya. Kondisi itu diperburuk dengan sikap pihak manajemen yang tidak memberi ruang bergerak bagi serikat pekerja.
“Dalam pekerjaan, kita profesional karena punya kode etik. Tapi dalam ketenagakerjaan kita buruh. Jadi sikap kami jelas, wartawan ya buruh,” kata pria yang akrab disapa Manan itu. Itulah mengapa menurut Manan pertumbuhan serikat pekerja di industri media sangat lambat.
Faktor lain adalah soal pemberangusan serikat pekerja. Manan menyebut sejumlah serikat pekerja yang diberangus pihak manajemen seperti Serikat Karyawan Indosiar (Sekar), serikat pekerja di media Suara Pembaruan dan lainnya. Bahkan yang mencuat terakhir adalah kasus yang menimpa pekerja Metro TV, Luviana.
Lebih lanjut pekerja Metro TV yang dibebastugaskan oleh pihak manajemen karena menuntut kebebasan berekspresi dan berserikat di lokasi kerja, Luviana menambahkan ada stigma bagi pekerja yang aktif berserikat. Stigma itu bagi Luvi dimunculkan oleh orde baru agar rakyat enggan berorganisasi dan berserikat. Akibatnya tingkat kesadaran rakyat khususnya kaum pekerja untuk berserikat sangat lemah.
Luvi menuturkan kisahnya di lokasi kerja, sebagian pekerja takut untuk bersuara dan berserikat. Lagi-lagi sikap pihak manajemen yang antiserikat menjadi penyebabnya. Padahal seorang jurnalis harus memiliki kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi dalam menjalankan kerja-kerjanya. Tapi di lokasi kerja para pekerja seolah tidak punya ruang untuk mengimplementasikan kebebasan berekspresi dan berserikat. Bagi Luvi hal ini adalah dilema sebab ketika bekerja, pekerja media menulis dan menghasilkan berbagai karya tentang kemanusiaan dan keadilan. Namun ketika mencoba menerapkannya untuk internal perusahaan, sangat sulit, lanjut Luvi.
Lebih lanjut Luvi menuturkan bahwa hasil penelitian dari Ford Foundation menunjukan tingkat independensi media di Indonesia sangat lemah. Salah satu penyebab yang paling utama adalah konglomerasi, dimana industri media besar hanya dikuasai oleh segelintir orang. Sebagai pekerja media, Luvi paham bahwa salah satu tugas dari pekerja media adalah mengawal independensi media, setidaknya di lokasi kerja. Namun pihak pekerja menurut Luvi berada dalam kondisi yang serba sulit, konglomerasi media tidak memberi ruang yang cukup bagi pekerja untuk melakukan hal itu.
“Jurnalis ini terjepit di tengah-tengah, ketika mau mengkritik media dia harus berhadapan dengan konglomerasi,” ungkap pekerja Metro TV yang sudah dua bulan dibebastugaskan itu.
Dari hasil pemantauannya selama ini jika dibandingkan dengan pekerja di sektor industri lain maka pekerja industri media tertinggal dalam hal berserikat. Luvi merasa pekerja di sektor industri lain memiliki rasa solidaritas dan kekompakan yang baik. Sehingga ketika timbul suatu masalah mereka tidak segan untuk turun ke jalan bersama-sama, memperjuangkan perubahan.
Luvi menekankan bahwa perjuangan pekerja media akan berdampak luas bagi masyarakat. Oleh karenanya Luvi berharap agar pekerja media memiliki kesadaran yang tinggi untuk berserikat. “Buruh harus berserikat, buruh harus berserikat,” tutur Luvi menegaskan bahwa peran serikat pekerja sangat penting untuk mengusung perubahan yang lebih progresif.