Posisi Polisi Dipersoalkan

Jakarta, MS-Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 8 dan Pasal 11 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pemohonnya terdiri dari sejumlah advokat yakni Andi M Asrun, Dorel Amir, dan Merlina. Para pemohon mempersoalkan kedudukan institusi
Kepolisian yang berada di bawah presiden.salah seorang pemohon, Andi M Asrun menegaskan bahwa permohonan ini murni atas inisiatif dirinya dan dua pemohon lain. Secara tak lang-sung, Asrun juga meralat pernyataan Ahmad Rifai bahwa pengujian ini diajukan oleh kuasa hukum Zainal Arifin Hoesein, mantan Panitera MK. sebagaimana diketahui, Asrun dan Rifai tergabung dalam tim kuasa hukum yang menda-mpingi Zainal sebagai tersangka kasus surat palsu MK.
“Para pemohon merasa di-rugikan dengan berlakunya Pasal 8 dan 10 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian karena gagalnya pemenu-han ide-ide dan prinsip konstitusi-onalisme,” kata As-run dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, belum lama ini.
Selengkapnya, Pasal 8 berbunyi, “(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden; (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia  dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertang-gung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Sementara, Pasal 11 mengatur prosedur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh presiden dengan persetujuan DPR. Asrun menilai Pasal 8 UU Kepolisian bertentangan dengan konstitusi karena tak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang menyatakan Kepolisian berada di bawah presiden secara langsung. “Berbeda dengan kedudukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang secara tegas Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan presiden me-megang kekuasaan tertinggi atas angkatan laut, darat, dan udara,” tutur Asrun.
Pengaturan tentang Ke-polisian hanya termaktud dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Pasal itu hanya menjelaskan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ber-tugas melindungi, menga-yomi, melayani masyarakat, dan menegakan hukum. “Tidak ada satu kalimat pun kepolisian langsung di baw-ah presiden,” dia mene-gaskan.
Merunut pada sejarah sejak zaman Hindia Belanda hingga era reformasi, kata Asrun, Konstitusi juga tidak pernah menempatkan Kepo-lisian langsung di bawah presiden. Dalam sejarah dan praktik ketatanegaraan itu memang menggariskan Kepolisian lebih baik berada kendali Kemenhan.  
“Para pemohon berpen-dapat sebaiknya Kepolisian diletakkan di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) karena sesuai Pasal 2 UU Kepolisian salah satu fungsi kepolisian memelihara kea-manan dan ketertiban ma-syarakat,” katanya.
 
Legal standing
Anggota majelis panel, Maria Farida Indrati mem-pertanyakan legal standing (kedudukan hukum) para pemohon. “Permohonan le-bih banyak menjelaskan sejarah lembaga kepolisian terkait kedudukannya Polri berubah-ubah (di bawah perdana menteri atau Ke-menhan), bukankah se-benarnya ini tak kaitannya dengan persoalan konsti-tusionalitas, hak konstu-sional Anda yang mana?”
Ia juga menilai Pasal 11 UU Kepolisian tidak diurai-kan secara jelas perten-tangan normanya. “Bagai-mana proses Kapolri diang-kat dan diberhentikan tidak diuraikan secara jelas, Anda hanya fokus jika Polri di bawah presiden inkonsti-tusional,” kritiknya. “Untuk meyakinkan majelis agar per-mohonan ini dapat dite-ruskan ke sidang pleno, Anda harus menjelaskan alasan kenapa pasal yang diuji berdampak merugikan hak konstitusonal, ini mohon dijelaskan secara detail.”
Anggota majelis panel lain, Harjono juga mengkritik pemohon yang lebih banyak menguraikan sejarah kedu-dukan lembaga Kepolisian. “Apa iya permohonan ini dasarnya sejarah? Padahal kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sejarah untuk apa, justru uraian sejarah itu melemahkan dalil Anda,” kritiknya.
Sementara, Mahfud MD mengingatkan bahwa pe-rubahan kedudukan lem-baga Kepolisian yang be-rubah-ubah dalam sejarah merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pemerintah.
Persoalannya, kedu-dukan Polri saat ini di bawah presiden ini mem-bawa kerugian konstitusional para pemohon baik secara faktual maupun potensial.
“Open legal policy se-benarnya tak boleh diapa-apakan, kecuali menimbul-kan kerugian konstitusional, kerugian konstitusional ini harus dijelaskan. Karenanya permohonan ini harus di-perbaiki paling lama 14 hari,” sarannya.MS

INDEKS BERITA